ITS News

Senin, 02 September 2024
02 April 2011, 14:04

Mc D

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

“Emak Dami sudah tua, tak mampu lagi melayani pembeli,” kata salah seorang putrinya yang kini menggantikannya di warung. Ya, begitulah mahasiswa biasa memanggilnya, Mak Dami. Kemudian beberapa dari mereka memplesetkannya jadi Mc D. Kira-kira itu klise bagi mahasiswa yang jarang (baca: tidak mampu) mampir ke resto cepat saji. Namun melampiaskan keterbatasan dananya dengan halusinasi. “Anggap saja di Mc D beneran,” kata seorang pengunjung warung “Mc D”.

Warung yang lebih mirip seperti gubuk ini, menyimpan rekor tersendiri. Menurut beberapa jajak pendapat, dulu kabarnya yang paling murah dan favorit bagi mahasiswa. Setidaknya lebih manusiawi ketimbang resto-resto di dalam kampus yang katanya “kena pajak”. Konon, harga gorengan di Mc D dulu pernah mencapai rekor lima puluh perak per lembar. Sementara untuk teh hangat, gratis dan tak terbatas. Tapi tidak pakai gula.

“Yah itu kan dulu, sebelum Krismon,” kata Andi bernada sinis, mahasiswa yang kelihatannya berasal dari keluarga middle class, agak berduit.

Tono diam saja di balik boncengan Andi. Sebenarnya dari tadi ia menahan lapar. Mengikuti kebiasaan banyak mahasiswa di ITS, Tono hanya makan dua kali sehari. Katanya sih, sibuk di lab jadi tak sempat cari makan. Padahal, sebenarnya kantongnya lagi cekak!

Setelah berputar-putar lama mencari warung yang pas, baik secara lidah maupun finansial, sampailah mereka di sebuah warung. Si Mbak-Mbak cantik penjaga warung menyapa ramah. ”Makan apa Mas?”.

Andi kelihatan lahap meneliti tiap menu yang ada. ”Saya, sayurnya pakai lodeh campur sup. Ikannya, daging satu, ayam tepung satu, sama perkedel,”. Tono yang perhitungan, sedang uji kekuatan. Dompetnya dibuka, cuma ada tiga lembar uang seribuan. Tono ngelus dada. ”Mbak, saya tempe saja satu,”. Si Mbak bingung dan balik bertanya,”Cuma itu aja? Tidak pakai sayur?”. Ditanya seperti itu, Tono malah balik bertanya,”Kalau pakai kecap, gratis kan Mbak?”. Jadilah menu ala Farah Quin Keputih: Nasi ditambah tempe, ditaburi kecap di atasnya.

Ketika mereka bersiap mengambil tempat duduk, Si Mbak bertanya lagi,”Minumnya apa Mas?”. ”Jus Melon!” sahut Andi. Dan, Tono lagi-lagi menampakkan jiwa down to earth-nya. ”Air putih aja Mbak,”. Hidangan mereka akhirnya tersaji di depan muka. Selang lima menit kemudian, semua hidangan habis tanpa pertumpahan darah. Bukan karena di-gondol kucing, tapi memang…sudahlah, memang kasihan mahasiswa-mahasiswa itu. Sudah kuliah seharian, lelah-kantuk bercampur jadi satu, saat inilah pelampiasannya. Candaan sebagian mereka berkata, ”Logika berbanding lurus dengan logistik,”.

Sampailah jatuh tempo pembayaran. Andi bertanya lebih dulu. Kemudian Si Mbak menjawab sambil sibuk dengan kalkulatornya,”Hmmm, semuanya lima belas ribu,”. Andi mudah saja membuka dompetnya, namun sedikit mengernyitkan dahi. ”Ada kembaliannya nggak Mbak?” sambil menyodorkan uang merah seratus ribu. ”Lho, Mas…Ndak ada uang kecil ta?”. ”Ndak ada Mbak, Tuh lihat…semuanya merah” kata Andi sambil memperlihatkan dompetnya di depan mata lentik Si Mbak.

Tono geleng-geleng kepala. Mungkin dalam hatinya, ia berkata sambil memukul-mukul meja makan,”Dunia ini sungguh tidak adil!”. Tono pun membayar tagihannya. Kata Si Mbak, dari menu paket hemat yang dipilih Tono, cukup 2.500 rupiah saja. Tersisalah uang Tono 500 rupiah di tanggal 28 bulan itu. Berarti, kiriman baru datang sekitar tiga hari lagi dan Tono sudah siap-siap kencangkan ikat pinggang. Puasa.

Sekarang, setiap kali makan, hampir pasti keluar minimal 5000 rupiah. Kita sulit menemukan bonusan ote-ote atau air putih gratis, bahkan parkir motor pun kini minta jatah sendiri. Inflasi memang gila-gilaan. Tapi ada untungnya juga sih. Idiom no free lunch, membuat mahasiswa berputar otak mencari uang untuk berkompromi dengan kebutuhan yang makin mahal. Entah ngajar privat kecil-kecilan, bikin usaha dagang, nunut proyekan dosen atau sial-sialnya ya ngebon dulu di berbagai warung makan.

Pertanyaannya, akankah mitos di tengah kita tentang makan dua kali sehari, porsi tukang bangunan, menu murah-meriah, sampai prasmanan ”anda senang, kami pun senang”, masih bisa bertahan di kampus yang mulai merubah perwajahannya ini? Dulu, kami, anak-anak ITS, terkenal atas kebersahajaannya. Beda dengan kampus sebelah, walaupun sama-sama negeri, tapi nampak penampilan yang njomplang.

Katanya sih, anak-anak ITS itu terkenal kurus-kurus kurang gizi, dengan mode baju hem kotak-kotak yang pudar warnanya akibat air cucian yang kurang baik dan jemuran yang kurang mendukung atau bahkan dengan bau badannya yang khas akibat terlalu sibuk berkutat dengan tugas-tugas kuliahnya. Tapi yang bikin bangga, otak anak ITS yang terkenal cemerlang! Lah, wong…institut ini bukan sekolah modeling atau akademi sekertaris dan public relation yang mewajibkan mahasiswanya berpenampilan ”wah”. Apalah arti sebuah penampilan, kita buktikan saja di agenda-agenda kompetisi mahasiswa.

Di tempat lain, sekarang Mak Dami sedang menahan sakitnya. Perih akibat di-gencet persaingan dengan warung-warung bermodal besar. Ketika ditanya, mengapa tidak mengembangkan warung sederhana ini jadi lebih besar? Misalnya, sederhana saja, seperti memasang papan nama di depan warungnya atau memperluas lahannya biar pengunjung tidak desak-desakan seperti di bus kota. Tapi Si Anak Mak Dami menjawab,”Ndak usahlah Mas. Biar begini saja lebih enak. Jadi mahasiswa tidak sungkan mampir,”. Iya, ya…memang, kadang keramahan lebih penting dari cita rasa, apalagi gengsi.

Sepertinya gelombang anak-anak orang kaya yang masuk kampus akan menindas keramahan Mak Dami. Mereka lebih suka minum kopi seharga 20 ribu rupiah di Mall sebelah kampus. Atau sekedar mencicipi menu ringan pengganjal perut yang harganya juga tidak kepalang mahalnya. Itulah hidup. Setiap waktu, Si bodoh, Si miskin, Si kecil akan dilahap Si pintar, Si kaya, dan Si penguasa. Tak ada ampun.

Alangkah lebih indahnya bila ITS tetap lestari bersama kebersahajaanya. Tapi wallahualam, kalau biaya pendidikan di sini naik lagi, dan jatah kursi untuk si itu-itu saja, siapa yang bisa menjamin kebersahajaan itu? Moderen sih boleh-boleh saja, tapi jangan lupa diri.

 

 

Bahtiar Rifai Septiansyah
”Es teh anget satu Mbak!”

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Mc D