ITS News

Selasa, 03 September 2024
12 Mei 2011, 03:05

Ganja Adalah HAM

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Bob Marley terlihat kharismatik saat mengisap lintingan ganja. Persis gaya elegan Subcommandante Marcos saat memainkan rokok pipanya. Saya mengaguminya, seperti banyak anak muda lain. Mulai dari caranya bermain musik, pesan-pesan fatalisnya, sampai ideologi kebebasan mutlak yang ia rindukan, dan yang terutama adalah nadanya yang berat ketika menyanyikan keadilan. Walau kagum, saya bukanlah rastafarian. Saya hanya suka idealisme yang membawanya jadi legenda. Bukankah sebelum mati Bob pernah bilang: Money can’t buy life? Yeah…setuju!

Alunan rhytm yang dipetik ke atas dengan ketukan pelan, memang membuat perasaan nyaman. Kata orang, kalau sudah dengar Bob Marley, kurang afdol kalau tidak nge-baks ganj (bakar ganja). Jadilah hashish merasuk dan tiba-tiba ia larut dalam halusinasi kemudian terlelap. Ia pun bersenandung lirih menirukan sajak seorang penyanyi reggae.

Bebas lepas, tanpa beban
Aku merdeka
Kujalani apa adanya
Aku bahagia  

Ya memang sih, Redemption Song membebaskan kita dari mental perbudakan. No Woman No Cry menunjukkan jalan untuk pembelaan hak-hak perempuan. So much trouble in the world pun mampu menyihir kita atas arti perjuangan hidup dan solidaritas sesama. Ya, Bob telah membantu para pengikutnya menyisihkan beban hidup dari pundak mereka.

Tapi ada yang membuat saya tertawa. Dalam lirik legalize marijuana ia berkata: it’s (marijuana) good for the flu, good for asthma, good for tuberculosis, even numara thrombosis". Kalau ketemu Bob Marley saya pasti akan bertanya: Apa ganja bisa buat IPK saya cum laude?. Kalau iya, wah…mau dong.

Ada satu yang saya ingat betul. Ras Muhamad, seorang penyanyi reggae, pernah bilang,"Rasta itu adanya dalam hati. Dia tidak mesti pakai ganja dan rambut gimbal". Masih kata musisi yang lama belajar reggae di Amrik ini: Reggae bukan musik jalanan, bukan musik pantai, juga bukan musik orang-orang yang hobi mabok, suka-suka, dan foya-foya.    

Saya sepakat. Soalnya setahu saya, musik-musik progresif selalu berbicara semangat hidup. Mereka sering menggelorakan filosofi kehidupan. Bahkan diberikan pula solusi-solusinya lewat lirik itu. Jarang sekali mereka bicara cinta-cintaan dan hal yang lebay lainnya. Atau kalau yang lebih radikal, mereka berlatar anti kemapanan dan anti pengekangan. Nah, bukankah dengan narkotik ini, generasi muda jadi tambah mapan terus? Bukankah narkotik itu aditif yang pastinya akan mengekang intelektualitas?

Mereka memang amat atributif. Hal itu dimaklumkan karena komunitas ini juga sangat marginal. Tapi setelah filosofinya terkalahkan oleh atribut, mereka biasanya langsung menggelar otokritik. Karena memang ia hadir sebagai alternatif. Prinsip adalah segalanya. Ia tidak dihargai dengan jins belel, rambut mohawk, atau piercing penuh. Semua orang bisa berdandan tiruan. Tapi soal prinsip, beda lagi. Dan alternatif menyelesaikan permasalahan dunia, bukan dengan meninggalkannya (apalagi lewat Narkoba).

Bung, omong-omong, korupsi itu punya manfaat juga lho. Misalkan saya koruptor. Saya dapat uang banyak. Kemudian beberapa persennya saya bagikan pada fakir miskin dan anak terlantar. Atau saya modali mereka untuk bisa bikin usaha sendiri. Bukankah dalam hal ini saya membantu mengentaskan kemiskinan? Juga menolong pemerintah yang tidak bisa menjaga amanat undang-undang untuk memelihara mereka?

Mulia sekali bukan? Koruptor kan juga punya hak untuk menjadi seorang filantropis. Masak Bill Gates saja yang boleh.

Bisa saja kita memelesetkan sesuatu yang buruk menjadi kebaikan. Bisa saja kita suarakan bahwa narkotik penting untuk kepentingan medis. Bisa saja kita anjurkan pornografi untuk pembelajaran siswa sekolah. Bisa saja dilegalkan agar semua orang bisa bersenjata untuk menjaga diri. Bisa saja kita berteriak-teriak di dalam rumah kita tanpa mempedulikan tetangga.   

Kita hidup bukan dalam halusinasi Proudhon dan Bakunin. Dia boleh bilang bahwa hukum dan negara adalah bentuk perampasan hak-hak pribadi. Tapi ia lupa, anak kucing memang bisa makan dalam piring yang sama, cuma lihat kalau mereka sudah dewasa. Teori kebebasan ideal jelas-jelas tidak mungkin beranjak dari teori menuju aplikasi praksis.  

Kalau ganja itu untuk konsumsi pribadi mereka, ya silahkanlah…tapi jangan ajak teman-teman saya, saudara-saudara saya, dan juga seluruh orang yang saya cintai. Tapi apakah bisa kita biarkan saja seperti air yang mengalir? Tentu, air mengalir kalau terlalu deras bisa menimbulkan bencana. Itulah mengapa kami butuh pintu air. Sebuah kemunduran kalau benar-benar terjadi. Sebab tembakau saja sudah dicekik lehernya.

Marilah Saudara-saudara, ayo kita dukung bandar-bandar yang sedang berdemo di bundaran HI. Mendukung legalitas ganja berarti juga menjunjung HAM.

Bahtiar Rifai Septiansyah
HAM: Hak Asasi Matamu!

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Ganja Adalah HAM