ITS News

Selasa, 03 September 2024
03 Juni 2011, 10:06

Pancasila

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kini semua kata yang diusahakan dengan susah payah itu, cuma bisa bersemayam di balik buku-buku yang mulai menguning. Perasaan yang menghinggapi Pancasila saat ini, mirip seperti perasaan seorang gadis di sangkar pingitannya. Ia kesepian. Keberadaannya menimbulkan pertanyaan. Nasibnya digantung. Ruhnya tidak bersemayam pada tempatnya. Tak ada ruang untuk mengadu dan menganulir kondisi ini. Ia sampai pada titik paling berbahaya: menyerah.

Pernah suatu ketika seorang dosen bertanya pada mahasiswanya,"Buat apa kita belajar Pendidikan Kewarganegaraan? Bahasa Indonesia? Apalagi Agama?? Mata kuliah itu tidak ada hubungannya dengan engineering!". Semua mahasiswa terdiam. Termasuk saya yang tidak mau ambil pusing. Ia terus saja mengoceh kebijakan pendidikan kita yang masih mengajari mata kuliah "tidak penting" itu. Kami mengangguk-angguk saja. Lama-lama juga bosan sendiri.

Mungkin ada benarnya perkataan dosen tersebut. Buat apa? Kalau mau jadi insinyur, ya belajarlah ilmu-ilmu teknik. Tidak perlu pelajaran yang tidak ada korelasinya dengan hal itu. Lagipula pelajaran-pelajaran itu tidak lebih dari pengulangan atas apa yang telah kita terima semasa berseragam putih-merah, putih-biru, dan putih-abu-abu. Siapa yang tidak tahu Bahasa Indonesia? Siapa yang tidak tahu lima asas? Siapa juga yang tidak tahu rukun iman? Bukankah pengetahuan itu amat sederhana? Ada benarnya juga Pak Dosen itu.

Namun kalau saya boleh berpikir gampang-gampangan, ya…mungkin saja untuk menggenapkan kewajiban 144 SKS untuk level sarjana. Terus, saya juga ingin bertanya balik pada dosen tersebut. Lah…buat apa anda membahas pelajaran yang tidak ada korelasinya dengan mata kuliah yang anda ajarkan. Di kelas pula. Waktu lima menit yang digunakan untuk “curhat” itu kan juga berharga. Tapi saya diam saja. Karena dalam demokrasi, kebebasan berpendapat menduduki singgasana tertinggi. 

Saya menganggap bahwa Pancasila tidak lebih dari keris yang dikeluarkan tiap hari-hari besar kalender jawa. Tidak lebih dari sekedar prosesi penyucian, tidak juga sekedar dari kewajiban yang mesti dilafadzkan. Biarkan saya dituduh tidak nasionalis, sebab menyenggol kesucian Pancasila, tapi memang pada kenyataannya yang mengaku-aku paling nasionalis itu sebenarnya bromocorah yang menyamar jadi diplomat. Pancasila seakan jadi tameng diplomasi atas nama persatuan, tapi juga tombak tajam yang dipakai penguasa untuk dada Si Lemah.

Pernah suatu ketika, sekumpulan manusia dibedakan antara yang Pancasilais dengan yang tidak Pancasialis. Sedangkan penentuan “gelar” itu, ditentukan melalui tafsir satu-dua kepala saja. Melalui “gelar” itu ada orang yang menggusur orang lain dan ada manusia yang menyekap manusia yang lain. Lantas, dimana letak keadilan sosialnya? Alangkah mudahnya kita menunjuk tuduhan ke berbagai hidung, seakan melegitimasi bahwa kitalah yang terbaik memahami kehidupan berbangsa yang semakin kompleks ini.

Memang, butir-butir Pancasila tidak lebih dari aturan etika atau norma-norma universal yang sebenarnya bisa ditanyakan pada hati nurani kita sendiri. Bahasa norma berbunyi, "Kalau tidak mau diperlakukan seperti itu, maka jangan lakukan". Semua termaktub seperti tata cara menghormati orang lain, tata cara bermasyarakat, sampai tata cara menujunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Jadi tidak perlu dihafal. Juga tidak butuh pemahaman yang mendalam. Karena, seperti bahasa hukum, tiap titik-komanya bernada kejelasan dan ketegasan.

Kami ini anak muda yang pasti tak pernah bertemu dengan Sang Pembuat Pancasila. Entah Yamin, Soepomo, Soebardjo, atau Soekarno. Konon, Pancasila tidak kalah menggelegarnya dengan San Min Chu-I, Declaration of Independence, Manifesto Communist, Magna Charta, atau Shahifatul Madina. Konon, saat Bung Karno menjlentrehkan intisari Pancasila di depan sidang PBB, applaus dan standing ovation dari para hadirin adalah yang paling lama dalam sejarah. Bukti kehebatan Pancasila. 

Tapi kok ya, saya ndak pernah bertemu langsung dengan kesaktian Pancasila. Saya masih pesimis, jangan-jangan Pancasila itu cuma abang-abang lambe. Akhirnya pada long weekend ini, saya menggelar misi ”Mencari Pancasila”. Bersama beberapa kawan, saya pergi camping ke gunung, barangkali Pancasila bersembunyi di sana.

Alamak, ternyata benar! Pancasila lebih senang hidup di terminal Joyoboyo ketimbang di gedung DPRD. Wong, ketika saya sholat di sebuah masjid nyempil secuil di ujung terminal, yang saya dapati adalah…Penuh! Saya kira karena kiamat sudah dekat. Tapi ternyata, hal itu memang kelaziman. Masjid ITS saja yang di sekitarnya banyak orang pintar, tidak sampai segitunya. Apa gara-gara mereka orang kecil lantas mereka lebih khidmat menjalankan sila ke satu?

Saya ragu, wakil-wakil rakyat yang berkopiah, hanya remeh-temeh saja. Soalnya setahu saya, selendang yang dikaitkan ke kepala (menyerupai jilbab), kopiah dan baju koko hanya dipakai saat seorang pejabat dipanggil ke pengadilan. Entah itu Tipikor, pidana atau perdata. Berlomba jadi alim, saat ketahuan maling. Heran.

Sila kedua saya temukan di dalam bis kota, saat seorang pengamen dengan manisnya menyanyikan tembang-tembang pilihan. Kesopanan yang mereka tawarkan, walau saya tahu pasti mereka belum makan sejak pagi, cukup menyindir kemanusiaan kita. Lagipula, uang recehan para penumpang tidak selalu mencukupi. Yang paling saya ingat ketika ia menyanyi sebuah hits dari Iwan Fals.

Kulangkahkan kakiku yang rapuh
Tinggalkan sepi kota asalku
Saat pagi buta, sandang gitar usang
Kucoba menantang keras kehidupan

Tidak lupa, selesai bernyanyi, ia menghantarkan doa buat kami semua para penumpang. Kadang diiringi lagu nyentrik dan nyentil yang membuat kita tersipu. Entah, dimana lagi saya menemukan kemanusiaan macam ini. Rasanya, waktu itu saya ingin menangis.

Sila ketiga malah saya temukan di sebuah angkot. Saat duduk berdesakan (bayangkan, mobil suzuki carry, dipaksa diisi 16 penumpang), saya memperhatikan bahasa yang keluar dari mulut penumpang benar-benar beragam. Ada Jawa Suroboyaan, Jawa alusan, Madura, Sunda, Papua, logat Padang, logat Batak, dan banyak lagi. Ah, saya pikir ”dari Sabang ke Merauke” terlalu luas untuk dipandang. Malah, dari angkot ke angkot saya bisa temukan Persatuan Indonesia. 

Sila keempat justru saya temukan di gerbong kereta api. Tahu saya tidak mengerti arah, semua penumpang segerbong seakan berlomba memberitahu kemana saya harus pergi untuk mencapai tujuan. Walaupun terjadi perdebatan sedikit, diskusi yang lebih mirip pada musyawarah ini, memutuskan suatu hal. "Pokoknya yang terbaik buat sampeyan saja lah. Kalau mau naik angkot arahnya ini-ini dan itu. Kalau mau naik ojek, arahnya ini-ini dan itu, kalau naik bis, begini-begini-begitu. Saran saya bla-bla-bla".

Sila kelima saya temukan di gunung. Saya melihat penduduk di lereng yang begitu ikhlas menjalankan kehidupannya. Kehidupan antar tetangga yang rukun, guyub, dan saling meringankan beban. Bagi saya, itulah keadilan sosial, meski orang-orang ini jauh lebih tak termakmurkan dan tertinggal dari masyarakat kota. Tapi dengan ia mencintai apa yang dikerjakannya sekarang, itu sudah cukup adil bagi dirinya dan kehidupan sosialnya.  

Dulu, Gus Mus pernah berceloteh tentang Pancasila.
Katanya, Pancasila adalah…
1. Kesetanan yang Maha Perkasa
2. Kebinatangan yang degil dan biadab
3. Perseteruan Indonesia
4. Kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan dalam perkerabatan/ perkawanan
5. Kelaliman sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Ternyata, Pancasila tidak ditemukan di seminar penyuluhan P4. Tidak juga ditemukan pada literatur yang usang. Apalagi dari mulut para politisi. Pancasila hanya mau menampakkan diri di jalanan yang berdebu, gang-gang sempit dan gubuk-gubuk yang reot. 

Bahtiar Rifai Septiansyah
"Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka?" (Ir Soekarno)

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Pancasila