ITS News

Senin, 02 September 2024
18 Agustus 2011, 12:08

Memimpin Seperti Umar

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Semakin ruwet saja bila melihat dunia kepemimpinan  di negara tercinta ini. Terdakwa korupsi yang sengaja memolorkan waktu sidang dan berusaha membela dirinya dengan mengaku tidak bersalah. Ada juga koruptor yang sudah dipenjara, tapi bisa-bisanya jalan-jalan ke Bali di masa tahanan. Lain halnya dengan ‘N’ yang melarikan diri sampai keluar negeri untuk menghindari kasusnya dan akhirnya tertangkap baru-baru ini.

”Ini kesalahan sistem,” seringkali kudengar alasan klise seperti itu di acara diskusi Televisi. "Meskipun kamu tak mau korupsi, lama-lama tergiur juga bila sistemnya semuanya korupsi dan kamu akan terlindas,” lagi-lagi kudengar pendapat yang menyesatkan saat berbincang dengan kawan-kawan.

Pemimpin bukanlah sebutan untuk kepala negara saja atau yang memiliki jabatan tinggi. Semua orang adalah pemimpin bagi dirinya masing-masing. Terkadang musuh terbesar yang sulit ditaklukan adalah diri sendiri. Tak ada salahnya melawan sistem apabila kita yakini adalah kebenaran.

Di saat ada Pemimpin melakukan korupsi.

Khalifah Umar pernah didatangi putranya yang ingin bercerita tentang keluarga dan masalah yang terjadi di rumah. Seketika itu Umar mematikan lampu ruangan. Si anak bertanya, mengapa ayah mematikan lampu hingga mereka hanya berbicara dalam ruangan yang gelap? Dengan sederhana sang ayah menjawab bahwa lampu yang mereka gunakan ini adalah amanah dari rakyat yang hanya dipergunakan untuk kepentingan pemerintahan bukan urusan keluarga.

Padahal jika dinalar, minyak yang dihabiskan untuk menerangi pembicaraan malam itu mungkin hanya beberapa tetes. Mungkin kisah di atas tak adil apabila dibandingkan dengan jaman sekarang yang serba modern. Tapi apa perlu pemimpin teras atas menggunakan mobil dinas keluaran terbaru jika masih bisa menggunakan mobil yang biasa saja atau naik angkutan umum. Apa benar-benar dibutuhkan untuk mengadakan pertemuan di luar negeri hanya untuk rapat, apabila bisa dilaksanakan di tempat yang sudah ada.

Di saat ada pemimpin dzalim.

Seorang Yahudi tua mengadu pada Umar karena tanahnya akan disita secara paksa untuk dijadikan masjid oleh Gubernur Amr Bin Ash. Lalu Umar memberikan sepotong tulang kepada Yahudi tua untuk diberikan kepada Gubernur Amr. Ia justru kebingungan, namun Yahudi tua itu tetap menyerahkan tulangnya kepada Amr. Anehnya lagi Amr langsung memerintahkan untuk membongkar masjid yang hampir jadi dengan wajah ketakutan.

Ternyata tulang tersebut berisi peringatan bahwa seberapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif (huruf pertama hijaiyah, red) yang digores di tulang, itu berarti kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif dan bila  tidak mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala gubernur.

Terkadang, kenyataan yang ada di masayarakat justru mengusung kepentingan golongan di atas kepentingan bersama. Contoh kasus disekitar kita, penggusuran akan dilakukan apabila tol tengah Surabaya akan benar-benar dibagun. Lagi-lagi yang diuntungkan hanya beberapa golongan yang dapat menggunakan tol, siapa lagi kalau bukan golongan bermobil mewah. Memang seorang pemimpin harus seperti alif.

Disaat ada pemimpin yang memamerkan kebaikannya.

Salah satu kebisaan dari Umar yang sangat luar biasa adalah melakukan pengawasan secara langsung kepada rakyatnya dengan berkeliling kota sendirian. Di suatu malam hari, ketika Khalifah sedang ”ronda” mendengar tangisan anak-anak dari sebuah rumah kumuh. Dari jendela ia mendengar sang ibu  sedang berusaha menenangkan anaknya. Rupanya anaknya menangis karena kelaparan, sementara sang ibu tidak memiliki apapun  untuk dimasak.

Sang ibupun berusaha menenangkan sang anak dengan berpura-pura merebus sesuatu yang tak lain  adalah batu agar anaknya tenang dan berharap anaknya tertidur karena kelelahan menangis. Sambil merebus batu dan tanpa  mengetahui kehadiran Khalifah Umar, sang ibupun bergumam mengenai betapa enaknya hidup khalifah negeri ini dibanding hidupnya yang serba susah. Khalifah Umar yang mendengar tidak dapat menahan tangisnya, ia pun pergi saat itu juga meninggalkan rumah itu.

Malam itu juga, sang Khalifah menuju ke gudang makanan yang ada di kota dan mengambil sekarung bahan makanan untuk  diberikan kepada keluarga yang sedang kelaparan itu. Bahkan ia sendiri yang memanggul karung makanan itu dan tidak  mengizinkan seorang pegawainya yang menemaninya untuk membantunya.

Ia sendiri pula yang memasak makanan itu, kemudian  menemani keluarga itu makan, dan bahkan masih sempat pula menghibur sang anak hingga tertidur sebelum ia pamit untuk pulang. Keluarga itu tidak pernah tahu bahwa yang datang mempersiapkan makanan buat mereka malam itu adalah khalifah mereka.

Mungkin terdengar tak masuk akal apabila ada seorang pemimpin sekelas kepala negara terjun langsung ke lapangan tanpa ada siaran heboh. ”Kapan mikir starategisnya jika tiap hari terjun langsung?”. Jangan salah, Umar merupakan salah satu tokoh yang masuk dalam tokoh berpengaruh di dunia karena kecerdasannya dalam pengaturan strategi negara.

Di masa kepemimpinan Umar, Al-Quran dibukukan dalam bentuk mushaf, dibangun balai pengobatan, perkantoran, pembuatan mata uang dirham, pembuatan kas negara, audit para pejabat dan pegawai, dan sebagainya. Daerah kekuasaan juga semakin meluas sampai Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.

Mungkin kita bukanlah Umar bin Khattab, namun tak ada salahnya berusaha menjadi pemimpin seperti beliau. Pemimpin bertanggung jawab, jujur, dan adil dimulai dari diri sendiri. Ya, dari diri sendiri.

Elita Fidiya Nugrahani
Mahasiswa Teknik Fisika

*)terinspirasi oleh kisah Umar bin Khattab dari berbagai sumber

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Memimpin Seperti Umar