ITS News

Selasa, 03 September 2024
02 Januari 2012, 12:01

Bima

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Mari saya perkenalkan dengan Bima. Ia adalah sebuah kota kecil di ujung timur pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tak banyak yang bisa diceritakan dari daerah ini, memang. Tetumbuhan tumbuh jarang. Tak ada gedung-gedung bertingkat.

Namun, masyarakatnya tahu betul bagaimana bersahabat dengan alam. Tak heran, pada masanya Bima pernah menjadi salah satu dari segitiga emas lumbung padi di Indonesia timur, bersama Gowa dan Talo.

Pada 1815, daerah ini pernah luluh lantak oleh letusan gunung berapi. Letusan yang sama yang membuat Napoleon Bonaparte harus bertekuk lutut di bawah pasukan Inggris dan Rusia. Bima tertimbun duka. Gunung Tambora benar-benar memuntahkan luka. Tiga kerajaan di Bima tertimbun debu, dan hilang.

Sekarang, media-media nasional tengah sibuk memberitakan Bima. Bukan tentang gunung berapi, tapi tentang perampokan ruang hidup, tentang kelaliman penguasa dan kebrutalan aparatur negara. Masyarakat Bima tengah menjadi David yang dikepung Goliath. Bedanya, tanda-tanda kemenangan David tak kunjung tiba. Mereka merana di penghujung tahun.

Cerita bermula dari ketakutan masyarakat Bima akan kerusakan alam mereka. Kala pemerintah setempat memberi izin operasi pada sebuah perusahaan tambang, mereka sontak protes. Mereka tak tahu isi kontrak. Mereka juga tak ingin alam mereka rusak. ”Kami hidup dari bertani dan melaut, jangan hancurkan tanah kami,” teriak mereka.

Pemerintah bukannya tak tahu keluhan rakyatnya. Ia sadar betul bahwa rakyat butuh ruang untuk hidup. Ia juga tahu bahwa area tambang akan segera mendominasi ladang dan sawah . Namun sekali lagi pemerintah butuh uang. Uang untuk menghimpun suara pada kampanye mendatang. Maka dengan sangat ”terpaksa” ia pun menggadaikan hidup rakyatnya. Ia tidak tahu bahwa genderang perang baru saja ditabuh.

Massa yang tidak terima akhirnya menduduki area tambang. Mereka membawa tuntutan yang sama, ”Jangan jual tanah kami”. Namun tampaknya, pemerintah sudah main mata dengan aparat. Protes murung orang-orang ini dibalas brutal dengan berondongan peluru. Tiga orang dikabarkan meninggal, lainnya luka-luka. Aparatur negara mungkin sudah lupa bagaimana berdamai dengan masyarakat. Alih-alih memperbaiki keadaan, mereka malah memperkeruh suasana.

Disisi lain, perusahaan tambang bukan tanpa masalah. Ia memang mendapat izin dari pemerintah, tapi dalam menjalankan proyek tambangnya ia mengajak sebuah perusahaan multinasional dari Australia, Arch Exploration. Tampaknya, perusahaan tambang lokal ini hanya dipasang untuk mendapat izin dari Bupati. Seterusnya, kendali penuh ada pada Arch exploration. Ia berusaha mengikuti jejak pendahulunya, Aquila Resources, yang lebih dulu sukses di Indonesia.

Pemerintah, juga aparat tampaknya tidak sadar bahwa mereka tengah mengikuti cara main Niccolo Machievelli. ”Moralitas pribadi dan publik harus dilepaskan dalam mengatur. Pemerintah harus bisa bertindak tak sesuai norma,” begitu ujar Machievelli. Namun seperti peran antagonis lainya, pemerannya tak akan begitu disukai. Masyarakat marah pada pemerintah. Kepercayaan terhadap aparatur negara turun ke titik nadir.

Tinggallah sekarang masyarakat yang tak tahu harus berbuat apa. Mereka terluka. Ruang hidup mereka dirampok, harga diri dinodai, dan kepercayaan pada pemerintah dikhianati. Mereka marah tapi tak tahu harus mengadu pada siapa. Ditengah kegalauan ini mereka hanya bisa berharap, semoga kemenangan masih sudi memihak mereka, entah bagaimana caranya. Mereka percaya Tuhan akan sesalu memihak yang benar.

Ribuan mil dari Bima, di Surabaya, saya hanya bisa mengajak. Mari berdoa untuk masyarakat Bima. Mari berdoa untuk rakyat Indonesia. Semoga rakyat kecil masih diperkenankan hidup di negeri kita tercinta.

Ihram
Mahasiswa Jurusan Teknik Perkapalan ITS

Selamat tahun baru bersama duka, Bima.

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Bima