ITS News

Senin, 02 September 2024
17 April 2012, 22:04

Setelah Jadi Mahasiswa Berprestasi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kebermanfaatan yang seharusnya terpancar cenderung meredup karena seakan-akan hanya prestasi yang dikejar. Mahasiswa Beprestasi identik dengan mahasiswa yang memiliki segudang aktifitas sosial, setumpuk prestasi akademis maupan prestasi nonakademis, kefasihan dalam berbahasa asing, serta Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang cukup tinggi.

Banyak mahasiswa berkeinginan untuk menjadi seorang mahasiswa berprestasi. Tidak heran, terpilih dari ratusan insan tangguh itu menjadi suatu kebanggan tersendiri.

Proses penyeleksian mahasiswa berprestasi dilakukan secara berjenjang. Dimulai dari penyeleksian tingkat jurusan, penyeleksian tahap semi-final, sampai pemilihan Mahasiswa Berprestasi ITS pada tahap final.

Proses seleksi di tingkat jurusan beraneka ragam. Ada yang diseleksi dengan sangat ketat, ada yang hanya mengumpulkan berkas persyaratan, dan ada yang asal ambil berdasarkan peringkat IPK ataupun riwayat prestasi.

Setiap jurusan harus mengirimkan tiga perwakilannya untuk kemudian diseleksi melalui tes TOEFL, presentasi karya tulis ilmiah, dan wawancara bahasa Inggris. Selanjutnya dipilih 22 calon mawapres yang berhak mengikuti babak final.

Pada babak final, mereka menghadapi berbagai psikotes, mulai dari tes tulis, Focus Group Discussion (FGD), dan pengenalan diri secara singkat. Dari seluruh proses penilaian, akan dipilih seorang mawapres yang berhak mewakili ITS dalam seleksi mahasiswa berprestasi tingkat nasional.

Kebermanfaatan itu Kian Redup
Ibarat kunang-kunang yang bersinar di malam hari, mahasiswa berprestasi harus menyebarkan sinar inspirasi kepada lingkungan sekitarnya. Mahasiswa berprestasi bukan merupakan orang yang sekedar berhasil meraih gelar belaka. Melalui karya dan pemikirannya, mereka wajib menyebarkan kebermanfaatan kepada sesama.

Akan tetapi, kebermanfaatan yang menjadi intisari dari sosok mahasiswa berprestasi kurang terasa di masyarakat. Boleh saja mereka bereuforia atas gelar yang mereka raih. Namun, euforia itu akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan manfaat yang mereka berikan.

Faktanya, setelah memperoleh gelar mahasiswa berprestasi, belum ada tindak lanjut yang nyata yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Seakan-akan mereka menyimpan gelar itu kemudian menghilang entah ke mana.

Hal ini mirip dengan fenomena ‘SKEM-oriented‘. Mahasiswa tipikal ini biasanya menjalankan aktifitas asal-asalan. Asal dapat menambah SKEM, ya mereka jalani. Bagi mereka SKEM merupakan tolok ukur prestasi dalam aspek non-akademis.

Begitu juga dalam meraih gelar Mahasiswa Berprestasi. Beberapa mahasiswa berpikir bahwa Mahasiswa Berprestasi merupakan gelar pribadi yang paling prestisius sehingga mereka harus mengejarnya. Orientasi jangka pendek dan individualistis seperti ini akan menumpulkan peran dan fungsi mahasiswa sebagai agent of change di tengah masyarakat.

Apalah artinya sebuah gelar, jabatan, status, prestasi, jika tidak dibarengi kualitas diri untuk memperbaiki lingkungan. Memang idealnya, kita menyandang gelar Mawapres karena berkualitas selayaknya Mawapres. Jika tidak bisa meraih, berkualitas Mawapres lebih baik daripada terpilih sebagai Mawapres namun tidak bisa memberi dampak positif bagi lingkungannya.

Yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai gelar Mahasiswa Berprestasi. Untuk bisa berprestasi, sebenarnya kita tidak perlu memenangkan ajang pemilihan Mahasiswa Berprestasi. Dengan memberikan karya terbaik untuk bangsa, berkontribusi dalam berbagai organisasi, kepanitiaan, serta kegiatan sosial, hakikatnya kita adalah seorang Mawapres.

Kuncinya adalah pada manfaat yang kita berikan. Boleh saja kita berjuang untuk meraih status mawapres, namun jangan berhenti pada itu saja. Kita wajib menciptakan dampak postif dari status mawapres kita. Semoga siapapun yang menyandang gelar Mawapres benar-benar merupakan insan unggulan yang mampu bermanfaat bagi sesama.

Rahadian Dustrial Dewandono
Mahasiswa Teknik Informatika angkatan 2008

Berita Terkait