ITS News

Senin, 02 September 2024
30 Mei 2012, 20:05

Melirik Negara Matahari Terbit

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Rektor FIT, Teruo Shimamura, telah tiba lima belas menit sebelum jadwal memberikan sambutan. Lelaki paruh baya ini bisa berbahasa Inggris dengan baik. Tidak seperti pemateri-pemateri sebelumnya, ia berbicara menggunakan bahasa Inggris, bukan Jepang.

 

Acara pun berlangsung hangat dan luwes tanpa bantuan penerjemah. Sambutannya pun tidak panjang. Cukup sekadarnya, dilanjutkan dengan pemberian hadiah kepada masing-masing mahasiswa sebagai hadiah kunjungan.

Mahasiswa dan rektor bertemu kembali di depan gedung rektorat untuk berfoto bersama. Sesuai dengan tradisi orang Jepang, beberapa mahasiswa menyodorkan kartu nama kepada Teruo. Lelaki botak itu lantas mendadak tergopoh…kartu namanya habis! Ia bergegas memasuki gedung rektorat universitasnya, dipapah oleh tongkat di tangan kanannya.

Tak lama kemudian ia telah keluar kembali, memegang satu boks kartu namanya sendiri. Lembaran-lembaran putih dalam genggamannya tak hanya mengandung informasi pribadinya dalam Inggris dan kanji. Tetapi juga dihiasi oleh kartun wajahnya sendiri di bagian atas kartu. Ia tak pandang bulu siapapun yang menyodorkan kartu namanya. Semua mahasiswa kebagian.

Monumen Pohon Sakura
Tagomori adalah sebuah desa di daerah Ukiha, pulau Kyushu, sekitar 100 kilometer dari kota Fukuoka. ‘Desa’ ini memiliki pegunungan yang ditumbuhi oleh pinus dan bambu. Sekali lagi, para mahasiswa langsung disambut para warga layaknya saudara jauh. Di sebuah rumah komunal masyarakat setempat, grup tersebut dijamu dengan makanan berlimpah. Bahkan, para ibu yang memasaknya tak segan-segan mengisi mangkuk mereka dengan nasi tambahan.

Usai makan siang, para mahasiswa dan penduduk desa diajak ke sebuah bukit. Di sana mereka bersama-sama menanam enam batang pohon cherry blossom, atau sakura. Di tengah keenam pohon tersebut, tertanam sebuah patok kayu dengan huruf-huruf kanji.

Dalam bahasa Jepang, patok tersebut menyatakan persahabatan antara ‘mahasiswa Indonesia dan penduduk Tagomori’. ”Kapan pun kalian kembali ke sini, kalian akan selalu dikenang dan disambut oleh pohon-pohon sakura ini,” ungkap salah satu warga. Tak ayal, mata beberapa mahasiswa lantas berkaca-kaca mendengarnya.

Di area manapun di Jepang, para penduduknya berjalan dengan cepat. Di mal, di jalanan, dan terutama di stasiun-stasiun kereta, mereka berjalan bagaikan robot yang terburu-buru.

”Kami hanya ingin selalu tepat waktu,” mereka akan menjawab bila ditanya. Ternyata, masih ada alasan pula dibalik hal tersebut. ”Kami tak ingin waktu kami terbuang, sehingga kami pun tak ingin membuang waktu orang lain,” jelas mereka lagi.

Istilah ‘jam karet’ mungkin hanya dikenal di Indonesia. Di negeri yang kaya-raya akan sumber daya ini, bahkan waktu pun terasa berlimpah. Satu jam keterlambatan menjadi hal yang biasa. Bandingkan dengan masyarakat Jepang yang terbiasa menepati waktu paling tidak lima menit sebelum jadwal yang ditentukan.

Sementara itu, jalanan di Jepang tergolong sepi bila dibandingkan dengan di Indonesia. Meskipun dengan berbagai kemajuannya, penduduknya lebih memilih untuk menggunakan moda transportasi kereta dan sepeda. Di pinggir-pinggir jalan, bisa ditemui deretan panjang sepeda kayuh. Di sepanjang trotoar, sepeda melaju berdampingan dengan orang-orang yang berjalan.

Masyarakat Jepang tak terbiasa berjabat tangan. Sebaliknya, mereka memang lebih terbiasa membungkuk. Mereka membungkuk ketika bertemu satu sama lain dan saling menyapa. Mereka membungkuk untuk menyatakan terima kasih, arigato gozaimasu.

Dalam tataran yang lebih sopan, mereka menyatakan sumimasen untuk meminta maaf, padahal kata itu juga digunakan untuk istilah ‘permisi’. Mereka juga punya sebuah kata yang tidak dimiliki secara khusus oleh bahasa Indonesia. Yaitu onegai-shimasu, semacam please dalam bahasa Inggris.

Menghargai Setiap Momen
Jepang memang berbeda jauh dengan Indonesia. Penduduknya hanya 128 juta jiwa, sedikit lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia. Luasan wilayahnya pun lebih kecil, juga lebih rawan.

Setiap bagian negara berteknologi maju itu dalam ancaman bencana tanpa bisa diprediksi. Mulai dari fenomena alam seperti gempa, hingga gelombang pasang laut tsunami. Dalam sebuah konflik politik global, mereka pun dapat terancam kehilangan sumber-sumber daya yang mereka peroleh dari negara lain.

Maka mungkin tak mengherankan bila mereka begitu menghargai waktu yang mereka miliki. Tak mengherankan bila mereka begitu disiplin. Atau bila mereka sangat kompetitif dan bekerja keras untuk mencapai keinginan mereka. Atau bila mereka begitu menghargai sesama manusia, tanpa pandang bulu. Layaknya bunga sakura yang hanya mekar sekali dalam setahun, setiap saat yang mereka lalui begitu berharga.

Sayonara mungkin kata yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia lewat lagu masa anak-anak. Maknanya adalah ‘selamat tinggal’, dan lebih sering digunakan oleh orang-orang yang nampaknya tak akan bertemu kembali. Namun, ketika para mahasiswa berpisah dengan warga Tagomori, kata itu ternyata tak banyak digunakan. Masyarakat Jepang, dengan segala optimisme mereka, memilih mengatakan mata ai masyou, sampai bertemu kembali.

Sepanjang perjalanan kembali ke Indonesia, dua puluh tiga mahasiswa itu mengenang kembali pengalaman mereka. Mereka bertanya-tanya apakah suatu hari bisa menjadi rektor seperti Shimamura-san. Mereka berharap bisa menjadi bagian dari komunitas sehangat Tagomori. Dan mereka kembali bertanya-tanya, kepada siapa di Indonesia mereka masih akan mengucapkan arigato gozaimasu, sumimasen, dan onegai-shimasu.

Lisana Shidqina
Mahasiswa Arsitektur angkatan 2009
Peserta Japan – East Asia Network of Exchange for Students and Youths (Jenesys) Programme 2012

Berita Terkait