ITS News

Senin, 02 September 2024
07 Februari 2013, 15:02

Industri Gula Nasional, Bagaimana Nasibmu Nanti?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kebutuhan pangan pokok seperti beras dan gula kian menanjak kuotanya. Sehingga petani padi dan tebu harus menghasilkan panen yang lebih cepat dan melimpah. Dahulu, sebelum Revolusi Hijau, semua pertanian adalah organik. Namun setelah timbulnya tuntutan pasokan pangan yang lebih besar dan kontinu, produktivitas pertanian besar-besaran pun ditempuh melalui modernisasi alat-alat pertanian, penggunaan pupuk yang nutrisinya bisa diserap langsung oleh tanaman, hingga pestisida kimia dan pemuliaan benih untuk menghasilkan panen yang lebih cepat dan melimpah.

Produktivitas meningkat secara cepat, namun penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida telah membuat petani enggan untuk memberikan asupan bahan organik seperti kompos dan pupuk kandang. Akibatnya tekstur tanah menjadi rusak dan lingkungan menjadi tidak kondusif untuk mikroba. Karena kurangnya mikroba dan bahan organik yang dibutuhkannya, hasil panen terus menurun dari tahun ke tahun.

Tebu sendiri merupakan salah satu komoditas pertanian yang menempati posisi penting, di mana lebih dari setengah produksi gula dunia berasal dari tanaman tebu. Hal ini mendorong terjadinya sistem pertanian budidaya tanaman monokultur yang ingin meningkatkan produksi tebu dengan input tinggi di antaranya melalui penggunaan pupuk anorganik dan pestisida. Kegiatan ini pun berdampak pada kesuburan tanah, di mana tanah subur menjadi marjinal dengan permasalahan unsur hara, tanah menjadi keras dan padat, drainase jelek, dan miskin bahan organik.

Ketidakseimbangan penggunaan pupuk kimia dari tahun ke tahun telah menyebabkan kualitas tanah dan produktivitasnya menurun. Tanah tidak lagi mampu menyokong pertumbuhan dan produksi tanaman secara optimal, dan untuk mendapatkan produksi yang baik, maka diperlukan input yang lebih tinggi sehingga terjadi pemupukan yang tidak efisien.

Dengan kondisi yang sekarang panen harus lebih cepat dan melimpah, petani terpaksa meninggalkan cara bertanam tradisional yang lebih ramah lingkungan. Petani mengalihkan penggunaan pupuk kompos ke penggunaan sistem-sistem baru yang muncul dengan sendirinya pada kalangan petani kelas menengah kebawah yang jutsru cenderung merusak ekosistem tanah. Kendati memang hasil produksi sistem-sistem baru tersebut melimpah ruah dalam tempo yang cepat.

Seringkali petani tebu komersial tidak memperhatikan apakah pupuk anorganik yang terus-menerus digunakan pada tanaman tebu dapat merusak unsur hara tanah atau tidak. Seorang petani tebu komersil mengungkapkan bahwa jika terus-menerus menggunakan pupuk anorganik tekstur tanah berubah menjadi kehilangan unsur hara, tanah menjadi keras dan padat, drainase jelek, dan miskin bahan organik. Biasanya hal ini terjadi setelah penanaman tebu dilakukan selama lima tahun dan tidak di-camplong (pengangkatan tunas dan menggantinya dengan tunas yang baru, red) sama sekali.

Para petani komersil yang tidak direkrut oleh Pabrik Gula (PG) ini selalu mengolah tanamannya dengan asal-asalan, seperti tidak di-camplong sampai bertahun-tahun, dibiarkan saja tumbuh dengan sendirinya, hanya diberi pupuk liquid urea, atau lebih merakyatnya biasa disebut pupuk tetes agar cepat tumbuh besar dan dapat segera dipanen dan dijual ke koperasi PG dalam hitungan gula.

Jika jumlah petani tebu komersil 65 persen dari total petani tebu, dan hampir semuanya menggunakan proses seperti itu, beratus-ratus hektar tanah Indonesia yang mulanya sangat subur bisa menjadi tandus, kering dan tidak layak untuk ditanami. Memang ini bukan murni kesalahan PG, karna PG tidak ikut campur dalam pengelolaan sawah tebu petani komersial. PG hanya mengolah hasil tebu dari petani tebu komersial tersebut, menggilingnya menjadi gula.

Bagaimana jadinya tanah di Indonesia 30 tahun kedepan? apakah dapat ditanami? apakah tanaman yang ditanam dapat tumbuh subur, produktif dan kontinu? Apakah tanah tidak tandus? Bagaimana nasib para penerus bangsa, para petani masa depan yang mungkin hanya menerima sisa-sisa kejahatan petani sekarang pada tanah? Lantas, bagaimana pula prospek industri gula masa depan? Bahkan untuk yakin swasembada gula yang dicanangkan pemerintah di 2014 akan dapat tercapai dengan kondisi industri gula nasional sekarang pun masih gamang.

Apakah Negara Indonesia ini masih akan menjadi negara agraris jika tanah yang digunakan sebagai lahan pertanian tidak dapat menghasilkan panen yang baik? Bagaimana nasib negara-negara yang mengandalkan Indonesia sebagai pengekspor beras, gula atau bahan makanan pokok lainnya?

Untuk itu, perlu diupayakan suatu langkah konkrit yang bertujuan meningkatkan produktivitas lahan. Berdasarkan sebuah jurnal ilmiah, salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam meningkatkan daya dukung tanah terhadap pertumbuhan tanaman dengan pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA).

Aplikasi CMA pada tebu lahan kering memberi dampak positif terhadap pertumbuhan dan produksi tebu, dimana dengan penggunaan CMA sistem perakaran tebu akan lebih baik, dibandingkan dengan tebu yang tidak menggunakan CMA. Hal ini disebabkan CMA mampu memperluas permukaan serapan hara dan air dengan adanya hifa yang dimiliki oleh CMA.

Pertanian tebu Pabrik gula dapat terselamatkan dengan ditemukannya pemecahan masalah inokulasi mikoriza tersebut, namun kenyataannya pertanian tebu tidak semuanya digarap oleh PG dengan cara seperti tersebut diatas, yakni dengan penambahan inokulasi mikoriza arbuskular agar tanah dapat kembali pada kondisinya yang produktif dan penuh nutrisi, setelah selalu terkontaminasi berbagai macam zat kimia yang ada dalam pupuk anorganik.

Pertanian tebu yang digarap langsung oleh PG hanya sebagian kecil saja. Sedangkan sebagian besar lainnya dikerjakan oleh petani tebu komersil, yakni petani tebu yang berdiri sendiri, menanam tanaman tebunya dengan caranya sendiri, entah itu merusak tanah atau tidak, para petani komersil tersebut tidak dapat melakukan apa-apa. Karna modernisasi mulai menanjak, dan pupuk organik telah terkalahkan oleh teknologi pupuk anorganik yang kian hari makin bagus.

Jika para petani komersil beralih pada campuran pupuk kompos dan pupuk kimia, kemudian menginokulasi (melakukan pembenihan, red) CMA seperti yang dilakukan oleh petani tebu PG, kesejahteraan petani komersil tentu akan menurun drastis. Lain halnya jika PG tidak mau menerima untuk menggiling tanaman tebu yang tidak memenuhi syarat.

Syarat disini mungkin PG mengeluarkan keputusan bahwa hanya menerima pengolahan dan penjualan ke masyarakat bagi tanaman tebu yang tidak hanya menggunakan pupuk anorganik, dalam artian, minimal dicampur dengan pupuk organik, dan lebih baik lagi jika juga memberikan cendawan mikoriza arbuskular dalam tanah. Para petani akan mencari jalan keluar dengan tidak lagi menggunakan pupuk tetes dalam tanaman tebu yang diolahnya.

Jika 65 persen petani tebu komersil yang tadinya menggunakan pupuk anorganik seperti pupuk tetes dan sebagainya, beralih menjadi pupuk campuran antara pupuk organik dan pupuk anorganik. Ini akan membuat tanah Negara Indonesia kembali pada kondisinya semula, dengan banyak unsur hara tanah, kondisi tanah akan pulih dan akan mendukung produktivitas pertanian. Dan produktivitas pertanian industrial gula akan meningkat. Produksi gula pun akan membaik, seiring dengan tidak digunakannya pupuk anorganik dalam jumlah besar, maka gula akan lebih alami. Hal ini sangat baik karena jika kualitas gula meningkat, maka ekspor gula keluar negeri juga akan meningkat. Sehingga dapat mendobrak pasokan gula dunia, dan mengalahkan persaingan agraris industrial.

Perwujudannya tentu sangat membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Hal ini tentunya menjadi peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi PTPN X yang harus bekerja ekstra karna harus mengajak semua petani tebu komersil untuk bergabung dalam sistem baru yang digalakkan untuk mengembalikan produktivitas tanah Indonesia, membuatnya kembali pada kondisinya semula dengan cara tidak menghilangkan kebiasaan cara penanaman yang cenderung merusak produksi pertanian Indonesia tersebut. Semoga industri gula nasional dan sektor pertanian Indonesia dapat terselamatkan. Agar anak cucu kita minimal masih dapat merasakan rasa gula semanis yang kita rasakan saat ini.

Fifi Alfiana Rosyidah
Mahasiswa Jurusan Sistem Informasi
Angkatan 2011

Berita Terkait