ITS News

Senin, 02 September 2024
02 April 2013, 10:04

Gotong Royong, Sebuah Pilihan Hidup

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Individalisme itupun tercermin dari tingkah polah anaknya yang cuek terhadap keadaan sekitar. Apalagi ditambah dengan kurikulum sekolah yang sangat berat sehingga anak juga tidak sempat bermain dengan tetangga di sekitarnya. Beberapa sekolah ataupun perguruan tinggi sering dianggap menghasilkan anak yang pandai tapi berkaca mata kuda tanpa melihat dan peduli dengan keadaan sekitar.
 
Kearifan gotong royong merupakan warisan leluhur yang sangat luar biasa sehingga seorang anak mempunyai bekal yang cukup bagi anak dalam berkehidupan, bekal dari keluarga, bekal dari masyarakat dan bekal dari sekolah. Bekal anak saat ini hanya dari orang tua dan sekolah. Kalau kedua orang tua yang terpaksa kerja berangkat pagi pulang malam dan sekolah termasuk yang amburadul, maka bekal anak sangat sedikit dan bisa tidak mendukung perkembangan anak dengan baik. Berikut ada ilustrasi cerita yang mungkin sangat berguna.

Masa kecil seorang anak bernama Awi ketika masih sekolah di Yogyakarta sekitar tahun 1970 – 1980, merupakan masa anak-anak sampai remaja yang menyenangkan, merasa nyaman dan aman terlindungi karena ia mengenal hampir seluruh keluarga yang ada di kampung itu sampai sejauh 2 km. Orang-orang saling menyapa; antara sesama anak-anak, anak dengan yang dewasa, anak anak dengan orang tua. Awi bisa tahu keadaan dan kesehatan antara keluarga satu dengan yang lain. Para orang tua sering menyapa dan menanyakan kabar keluarga masing masing.

Kegembiraan yang tak terkira saat berkumpul membersihkan kampung, mereka saling bahu-membahu dengan senang hati dan makan bersama dengan makanan tradisional. Walau begitu pasti ada salah satu keluarga yang tertutup dan merasa kalau bergaul dengan kampung itu merupakan kegiatan yang membuang buang waktu, mereka lebih suka belajar dan belajar. Ada juga yang keluarga kaya-raya yang juga tidak mau ikut bersilaturahmi di kampung, ada yang dermawan ada juga yang pelit dan sebagaianya.

Awi termasuk anak kampung yang berteman satu kelas dengan salah satu keluarga yang tertutup. Widyo namanya. Jarak rumah ke sekolahan sekitar 1 km, mereka selalu berangkat bersama sama. Seperti biasa Widyo selalu membaca buku sambil berjalan, sedangkan Awi tetap melihat kesana kemari, bertegur sapa dengan keluarga yang dilewati. Demikian pula sebaliknya, mereka juga menyapanya. Widyo tetap meneruskan membaca dan hanya tersenyum sambil melirik yang menyapa saja.

Prestasi sekolah mereka berdua sama sama juara, antara juara 1 dan 2, saling bergantian menjuarai kelas. Widyo hebat dalam berbahasa Inggris karena setiap harinya di rumah selalu menggunakan bahasa Inggris dan hebat bidang sosial sesuai apa yang selalu dia baca. Awi lebih menguasai bidang IPA dan matematika. Awi dan Widyo selalu terpilih saat ada lomba cerdas cermat di tingkat sekolahan atau antar sekolah dan selalu mendapatkan juara.

Awi selalu menikmati apa saja yang ada di sekitar, termasuk dalam perjalanan ke sekolah. Selalu memperhatikan burung-burung yang berarak sejalan dengan perjalanan ke sekolahan, selalu memperhatikan Eyang Putri yang hidup sendiri di rumah pojok kampung yang selalu duduk di kursi goyang di teras rumah dan menyapa setiap mereka melewati rumahnya, terkadang memberi permen. Awi juga senang melihat kereta api yang selalu me-nyetop mereka saat pulang sekolah dan selalu berbincang-bincang dengan pak Man si penjaga pintu kereta api.

Selama bertahun-tahun merka menikmati kesenangan masing-masing dalam perjalanan pulang sekolah mereka itu. Hingga pada suatu hari saat mereka pulang dan melihat pintu kereta tidak ditutup, mereka bingung ada apa. Awi begegas mendekati pintu kereta dan mendekati ruang tempat pak Man yang biasa menjaga pintu kereta api. Masya Allah, ternyata pak Man ketiduran dan segera dibangunkan agar menutup pintu kereta.

Widyo tetap tidak merespon itu, dia hanya meneruskan membaca buku yang dibawanya. Demikian pula saat melewati rumah Eyang Putri, Awi kaget karena Eyang Putri tidak duduk di kursi goyangnya dan tidak menyapa seperti biasanya. Widyo meneruskan pulang, Awi mendekati rumah eyang dan ternyata Eyang Putri terjatuh dari kursi goyangnya. Awi bergegas melaporkan ke tetangga terdekat dan segera membawanya ke rumah sakit. Ternyata Eyang Putri mengalami stroke ringan. Saat ini Awi dan Widyo terpisah jauh, Awi jadi dosen dan Widyo jadi Hakim.

Gotong Royong Masih Berguna
Kekerabatan kampung ini merupakan kearifan lokal sekaligus modal sosial yang sangat berharga sebagai contoh saat terjadi gempa bulan 27 Mei 2006. Kearifan lokal gotong-royong betul-betul menjadi modal sosial yang besar terutama saat tanggap darurat dan pemulihan bencana. Mereka pulih dan bangkit dengan cepat dalam waktu kurang dari satu tahun.

Masyarakat mendapatkan bantuan pembangunan rumah bagi yang rusak. Dengan arif mereka mengumpulkan bantuan itu untuk diberikan kepada para janda yang ditinggal suaminya, agar mereka bisa membangun rumah yang layak dan aman. Masyarakat dunia mengagumi kearifan ini.

Memang ada yang mengalami masalah besar khususnya bagi keluarga yang tidak mau kumpul dengan masyarakat, mereka bingung sendiri, mau mengadu ke masyarakat malu dan stres karenanya. Kearifan gotong royong juga bisa mendeteksi dini kalau ada kegiatan warga yang mencurigakan seperti kegiatan terorisme atau industri narkoba rumahan atau perdagangan manusia.

Kalau kita individualis maka kegiatan itu tidak akan terdeteksi sama sekali. Saat ini pihak kepolisian getol melakukan sosialisasi masalah ini. Kampung Awi sudah sudah siap dan biasa dengan itu, oleh karenanya selama ini tidak ada masalah terkait dengan terorisme dan narkoba.
 
Mari kita nilai bersama apakah ITS menghasilkan lulusan berkacamata kuda atau lulusan yang peduli dengan kedaan sekitar atau keduanya. Kehidupan bergotong royong adalah pilihan hidup, untuk menuju kesana harus ada perencanaan, strategi dan pemantauan. Tidak bisa ‘ujug- ujug‘ rukun.

Dr Amien Widodo
Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim

Berita Terkait