ITS News

Senin, 02 September 2024
22 Desember 2013, 07:12

Apakah Mahasiswa ITS Peduli?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tanggal 8 November 2013, UTS di ITS telah usai. Saya menyempatkan diri untuk pulang ke Madiun, untuk mengencerkan sedikit kejenuhan yang sempat melanda satu minggu ini. Tepat saat saya menaiki lyn S yang menuju Bratang, tiba-tiba ”Mau puleng nduk, puleng ndek ngendi? (Mau pulang nak, pulang kemana?)” tanya seorang nenek kepada saya. ”Iya mbah saya mau pulang ke Madiun mbah” jawab saya.

”Nduk kiro-kiro jam pira nduk tekan Madiune? (Nak, kira-kira jam berapa tiba di Madiun?)” tanya si mbah berumur 70 tahun ini. Saya menjawab sekitar pukul sepuluh malam dengan bahasa Jawa. Usut punya usut, ternyata beliau bertempat tinggal di Keputih. Daerah terdekat dengan kampus perjuangan, kampus ITS. Kampus para pejuang, kampus para pemuda pemimpi.

Memang sebagian besar rakyat Indonesia lebih nyaman dan ahli dalam menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. Hingga lupa bagaimana berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan benar. Memang sulit bagi mereka yang berusia lanjut untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang benar, hal ini terjadi lantaran kebiasaan.

Di beberapa daerah di Pulau Jawa terutama Jawa Timur, Bahasa Jawa menjadi andalan. Kata opo, nggeh, iyo, dalem, piro, nyapo, lapo, mboten, gak merupakan beberapa kosakata yang sering digunakan oleh masyarakat penghuni provinsi Jawa Timur. Setiap daerah yang ada di Jawa Timur memiliki perbedaan, logat, intonasi, penekanan yang berbeda.

Contohnya, terjadi di daerah Madiun. Di sana juga punya penekanan kata to atau te dalam setiap pernyataan dalam berkomunikasi. Sedikit aneh dan geli memang jika mendengar penekanan yang berbeda-beda dari setiap daerah. Saat saya terbiasa tinggal di Madiun, saya merasa kurang jika berbicara tanpa ada penekanan to di setiap kalimat yang saya ucapkan.

 

Saat pertama di Surabaya, saat Sasa berbicara ”Koen iku ya cak, aneh arek e,” sontak saya kaget. Saya membatin, anak ini, keras sekali. Sekarang, karena sudah 1,5 tahun tinggal di Surabaya saya sudah terbiasa dengan kata cak, koen.

Saya bangga karena perbedaan negaraku menjadi berwarna, bervariasi, dan berbudaya. Hal ini sudah sering saya lihat dan terjadi dalam komunikasi di antara saya dan beberapa rakyat Indonesia.

Saat BSO IECC BEM ITS mengadakan acara di Kepetingan Sidoarjo, saya menemui hal yang sama. ”Bapak kalau membuang sampah di sini apa tidak mengganggu? Pemandangannya juga tidak indah, baunya terkadang juga menyengat, apa tidak mengganggu pak?” tanya saya kepada salah satu penduduk di desa Keting Sidoarjo.

Beliau hanya membalas ”Opo nak ? Ngomong jowo wae nak, pak e gak ngerti bahasa Indonesia.” Saya tak heran melihat kondisi tersebut, tak heran karena desa Keting terletak dekat muara yang jauh dari kampus, jauh dari kota.

Namun saya heran, heran mengapa daerah Keputih yang dekat dengan kampus-kampus mewah, Unair, Universitas Hang Tuah, dan ITS masih juga dihuni oleh rakyat Indonesia yang kurang mengenal Indonesia. Bahasa Indonesia saja masih banyak yang belum mengenal.

Saya takut Pancasila benar-benar menjadi pajangan dinding belaka. Saya takut, takut kampus saya disebut sebagai Kampus Apatis. Saya percaya kampus saya tidak apatis, kampus saya kampus peduli, sebutannya saja kampus perjuangan. Pasti dihuni oleh pejuang-pejuang, buktinya mahasiswa ITS selalu berangkat pagi pulang malam, sibuk dengan organisasinya masing-masing.

Apakah kampus saya apatis? Saya menjadi bingung dengan mahasiswa ITS semenjak saya melepas jabatan mahasiswa baru di ITS. Dulu saya bangga bisa menjadi salah satu penghuni di kampus perjuangan. Saya bangga dengan mahasiswa ITS yang berjuang, berjuang di BEM ITS.

Ada yang berjuang di dunia pengaderan demi tujuan yang sangat mulia, Menciptakan kader-kader yang unggul bagi negara Indonesia. Politik dengan tujuan Perpolitikan demi masa depan Indonesia yang beradab dan bermartabat. IECC yang bergerak di dunia pendidikan dengan semangat menciptakan dan memeratakan pendidikan di Indonesia. Dan lini sosial masyarakat dengan pohon, padi, gerigi yang disatukan menjadi sebuah logo yang sangat bermakna.

Tapi mengapa? Mengapa aku belum melihatnya? Melihat jejak pejuang-pejuang dari ITS. Politik, aku baru melihat lukisan abu-abu dari dunia politik di ITS, terkadang aku melihat lukisan berwarna merah dari politik di ITS. Namun pancaran warna merah tidak lama kulihat. Warna merah tersebut hanya terlihat saat Pemira saja.

Politik, teringat perkataan Ahok di media online beberapa hari yang lalu ”Mahasiswa harus mempertahankan idealismenya, jangan hanya berani berpolitik sewaktu menjadi mahasiswa. Buktikan kepahaman politik dan idealismemu di dunia nyata sewaktu menjadi pejabat di dunia politik, saya tunggu,” katanya.

Saya ragu, ragu mahasiswa ITS akan menjawab tantangan dari Ahok. Buktinya saja salah satu grup facebook milik mahasiswa ITS, bahasannya Pancasila, UUD, dan peraturan. Mereka berdebat masalah-masalah yang berat.

Saya lantas berfikir, ”Lah, wong peraturan kecil saja tidak dipatuhi.” Seperti banyak mahasiswa yang masih melanggar beberapa peraturan lalu lintas yang ada di sepanjang jalan raya ITS.

Saya jadi teringat perkataan salah seorang dosen Kimia ITS saat ada mahasiswanya yang terlambat, ”Peraturan dibuat bukan untuk dipertanyakan, dinegosiasi, dan dilanggar, peraturan hanya ingin dipatuhi dan dilaksanakan.”

Apa saya apatis? Apakah saya hanya mahasiswa kupu-kupu (kupu= kuliah pulang) atau apakah mahasiswa ITS tidak mau memamerkan apa yang telah dilakukannya? Atau bisa jadi mahasiswa hanya menjadi robot yang tergerak oleh proker? Atau mahasiswa ITS mahasiswa kura-kura (kuliah rapat)?

Widya
Mahasiswa Kimia ITS Angkatan 2012

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Apakah Mahasiswa ITS Peduli?