ITS News

Senin, 02 September 2024
01 Maret 2016, 17:03

Indonesia Darurat Revolusi Mental

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Berawal dari obrolan ringan dengan pertanyaan dari kawan saya, ”Kapan kampus kita berbenah ya? Yang saya maksud orang-orangnya mas!” celetuk adik kelas saya itu. Terus terang saya cukup tergelitik mendengarnya, atau lebih tepatnya terganggu karena pertanyaan yang sama juga saya rasakan. Sudah sejak lama. Lama sekali.

Ya, dari cara berfikirnya memang sudah terlihat kalau saya dan dia tidak ada bedanya. Terlalu banyak menyimpan kritik bagi kampus ini. Mulai dari mahasiswanya yang pintar kalkulus tapi membuang sampah pada tempatnya saja masih harus diajari! Sampai tindakan konyol tawuran antar fakultas, jurusan, bahkan angkatan. Benar-benar merepotkan. Bisa-bisanya mereka mengatakan dirinya sebagai "putra-putri terbaik bangsa!"

Beberapa waktu yang lalu pun, mata saya kembali terbelanga mengetahui berbagai opini dan fakta terkait kasus yang ditangani Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Betapa asas moralitas hancur lebur dilibas naluri serakah nan etika tanpa santun dari anggota dewan kita. ”Yah, tapi kita bisa apa?!” seloroh saya dalam hati.

Saya jadi berfikir ulang apa saya harus berdoa supaya tidak cepat dewasa ya. Tidak cepat tua. Tidak cepat berkeluarga. Tidak cepat mengurus negara. Karena dunia orang dewasa sepertinya terlalu rumit untuk diselami. Masih jauh lebih baik dimarahi dosen atau dicegat preman kampus, mungkin. Setidaknya saya masih punya kepercayaan diri menghadapi itu.

Tapi, bagaimana pun itu adalah omong kosong yang hampir pasti hanya jadi mimpi. Semua orang tentu akan tumbuh. Mereka akan berkembang. Kalau tidak bisa secara psikis, minimal tubuh mereka akan mengalami fase "pematangan". Yang saya ingin katakan adalah setiap dari kita akan mengalami masa dimana melihat kenyataan akan jadi lebih sulit, apalagi menghadapinya. Cepat atau lambat.

Dan kalau itu sudah terjadi, muncul di depan mata kita, semua pilihan jadi terasa pahit. Ujung-ujungnya opsi melarikan diri yang jadi favorit kebanyakan orang. Lari dari kenyataan dan memilih berlindung di balik usaha orang lain. Lalu mereka berkata, ”Ah sudahlah, si fulan kan sudah mengerjakannya. Dia saja yang mewakili kita,” begitu jawaban "polos" mereka.

Bagi saya, negara ini hanya kurang dikaruniai orang-orang bermental positif. Ada yang bilang itu nasib sedari zaman kolonial dulu. Orang-orang kita dibuat dungu. Hingga ketika sudah pintar, kepintarannya tidak diiringi hati nurani yang bersih.

Ada saja masalahnya, kalau tidak soal korupsi, ya problematika kriminalitas yang mewarnai headline di banyak media massa. Akhirnya, banyak anak-anak dan remaja belia yang mengetahui hal itu malah berfikir bahwa masa depannya mungkin suram lantaran terus disajikan fenomena betapa negara ini tak berdaya dibuat hancur oleh rakyatnya sendiri.

Kalau sudah begitu, mereka akhirnya hanya bisa memilih mau ikut "sistem" apa melawan lalu mendekam di balik jeruji besi, atau minimal dikucilkan. Tidak heran kalau kita sering mendengar banyak ketidakadilan di negeri ini. Habis, gaya hidup masyarakatnya saja sudah tidak beres sejak mereka bangkit dari tempat tidurnya. Ada saja budaya malas, jam karet, nyontek, dan lain sebagainya yang terus menghantui.

Harga Sebuah Idealisme
Tahun lalu, istilah revolusi mental mulai ramai diperbincangkan. Biang keladinya presiden kita yang sekarang, Bapak Joko Widodo. Ketika kali pertama dicetuskan, sudah pasti ada yang setuju, namun tidak sedikit yang mempertanyakan maksud istilah tersebut.

Mereka bingung apakah bapak presiden bermaksud me-reset republik ini? Atau istilah itu digunakan untuk menyadarkan rakyat Indonesia yang terlanjur kebablasan? Kebablasan dalam berperilaku, kebablasan dalam berfikir akan dirinya sendiri.

Tapi, yang saya pahami presiden kita hanya ingin memperjelas semua ini. Kalau tajuknya di perbesar hingga tingkat nasional, barangkali rakyat kita akan terbangun dari tidur panjangnya, bahwa negeri ini tengah dilanda krisis. Kita namakan krisis ini sebagai krisis kepercayaan diri. Atau saya bisa sebut kita sedang kehilangan jati diri bangsa yang sebenarnya.

Kalau kita ingat, negeri kita dahulu dikenal sebagai macannya Asia. Ada lagi sejarah yang mengatakan ketika Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang menguasai nusantara, rasa-rasanya semua penduduk bumi wajib tahu bahwa ada tanah dimana keberadaannya begitu disegani. Jadi wajar kalau ada cerita rakyat yang menyebutkan pergaulan para raja dahulu tak ubahnya seperti konferensi tingkat tinggi dunia.

Fakta itu penting untuk diketahui, karena masyarakatnya saat itu juga ikut latah mengikuti kemajuan kerajaannya. Mereka hidup rukun, damai, dan sejahtera. Mereka tunduk pada pemerintahan yang baik. Mereka saling bergotong-royong, percaya diri, dan punya sikap mental yang disegani. Mungkin bangsa lain perlu berfikir dua kali jika hendak iseng kepada kita. Ah, pokoknya begitu indah cerita masa lalu bangsa ini yang secara turun temurun disampaikan oleh generasi pendahulu.

Perlu kita sadari jika suatu negara itu bisa dikatakan maju bukan hanya didasari deretan angka kekayaan yang dimiliki. Lebih dari itu, manusianyalah yang membuatnya mendapat pengakuan tersebut. Mereka bertipe pekerja keras, tidak gampangan, dan yang utama mereka paham bahwa negaranya dikatakan maju karena penghuninya juga maju. ”People know you are good if you are good” begitu bahasa yang saya gunakan untuk menggambarkannya.

Firman Faqih Nosa
Mahasiswa Jurusan Teknik Industri
Angkatan 2011

Berita Terkait