ITS News

Senin, 02 September 2024
14 November 2016, 01:11

Pemimpin dari yang Lain

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Saya ingat pertama kali saya membicarakan perihal ras dengan kedua orang tua saya. Mereka saling mengisi argumen satu sama lain, memaparkan pengamatan-pengamatan mereka mengenai kenyataan ras yang ada di lingkungan kami.

Tapi saya berkelit. "Temanku ada yang pintar di kelas, ada yang jadi murid teladan tapi yang orang-orang lihat adalah dia dari ras mana," kata saya. Tapi Bapak saya menanggapi terus. "Faktanya, di daerah di mana ras tersebut dominan ditemukan kualitas kesehatan yang rendah," kata Bapak saya. 

Sulit memang memisahkan data dan mitos saat bicara soal ras. Semua orang tentu pernah berkelit dengan diri sendiri untuk mematahkan prasangka yang mereka miliki mengenai suatu golongan. Tapi tampaknya, ras adalah bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan kita. Ras mengarahkan perilaku kita dan menciptakan ekspektasi baik bagi kita maupun bagi orang lain.

Tak heran, ras mampu memengaruhi keputusan politik seseorang. Harvard Institute of Politics menulis bahwa perbedaan politik akibat ras yang ada di Amerika Serikat (AS) dalam 30 tahun terakhir bukannya memudar, tetapi membesar.

Saat tingkat popularitas Barack Obama menurun, misalnya, golongan Afrika-Amerika tetap mendukung Obama dengan 78 persen sampel suka dengan kinerjanya. Nilai tersebut jauh dari 31 persen untuk ras putih dan 49 persen untuk Hispanik.

Nate Silver, ahli statistika dan penulis dari AS, mengakui bahwa ras merupakan faktor yang berperan dalam perilaku politik seseorang. Data yang ia ambil dari hasil jajak pendapat pemilu presiden AS 2008 menunjukkan bahwa satu dari lima orang kulit putih di negara bagian Louisiana tidak memilih Obama disebabkan ras Obama.

Sebenarnya, perilaku demikian juga turut merugikan masyarakat secara keseluruhan. John Aziz dalam tulisannya di mingguan The Week mengatakan bahwa diskriminasi dalam pekerjaan menyebabkan golongan tertentu tidak mampu masuk ke angkatan kerja hanya atas dasar latar belakangnya. "Hal ini akan menyebabkan produktivitas yang hilang," kata Aziz.

Hal serupa disampaikan oleh Evan Laksmana dari Centre for Strategic and International Studies, sebuah pusat kajian di Jakarta. Sebagaimana dilansir The Economist, apabila masyarakat memilih pemimpin hanya atas dasar golongan saja, pada akhirnya masyarakat akan membayar harganya. Sebab, pemilihan atas dasar tersebut tidak menjamin adanya pelayanan publik yang lebih baik.

Meski demikian, diskriminasi dan taktik kotor tetap ada dan dalam bidang politik, Sadiq Khan tahu benar bagaimana rasanya. Sewaktu kampanye untuk maju menjadi walikota London, lelaki Pakistan-Inggris ini disebut oleh lawan politiknya sebagai "pembantu partai Buruh yang berbicara di samping para ekstremis".

Di lain waktu, calon lain walikota London Zac Goldsmith menulis kolom opini dengan headline "Pada Kamis, akankah kita benar-benar akan menyerahkan kota terbaik dunia ke partai yang menganggap teroris sebagai temannya?". Kolom opini ini disertai foto serangan bom bunuh diri di London pada 2005 sebagai taktik politik untuk menakut-nakuti calon pemberi suara. Namun, Khan pada akhirnya berhasil melewati kampanye yang kotor ini.

Kemenangan Khan pada pemilihan walikota London sangatlah penting. Dari sini dapat terlihat bahwa warga London menolak sentimen anti-Muslim. "Zac Goldsmith berusaha menghubung-hubungkan antara ‘Muslim’ dan ‘teroris’ dan warga London memberitahunya untuk pergi saja," tulis kantor berita The Independent.

Di pidato kemenangannya, Khan mengatakan bahwa dia sangat bangga bahwa London telah memilih "harapan dan bukannya rasa takut" dan memilih "persatuan dan bukannya pecah-belah". Benar memang demikian. Kemenangan Khan bukanlah kemenangan satu golongan. Kemenangan Khan adalah kemenangan seluruh warga London terhadap sikap intoleran.

Sikap diskriminasi terhadap satu golongan atau terhadap golongan yang lain adalah sama saja. Sikap diskriminasi entah terhadap golongan apapun menyatakan bahwa ada golongan yang lebih rendah daripada yang lain. Frantz Fanon, penulis berkulit hitam berkebangsaan Martinique-Prancis, menyatakannya dengan baik.

Fanon berkata, "Sekilas, tampak aneh bahwa sikap anti-Yahudi bisa disamakan dengan anti-Negro. Adalah guru filosofi saya dari Antilles yang menyadarkan saya: ‘Ketika kamu mendengar seseorang menghina orang Yahudi, perhatikan; ia bicara tentang kamu.’ Dan aku percaya waktu itu bahwa ia benar secara universal, yaitu aku bertanggung jawab pada tubuh dan jiwaku atas takdir yang dimiliki oleh saudaraku. Sejak itulah aku paham bahwa apa yang ia maksud adalah orang yang anti-Yahudi juga orang yang anti-Negro." 

Di akhir perbincangan saya dengan kedua orang tua saya itu, saya mengakui saya kalah argumen. Memang realitas tentang ras tidak semanis yang saya inginkan. Tapi meskipun menang debat, wajah Ibu saya muram. Ia berkata, "Memang, hidup ini tidak adil." Kesimpulan itu yang sama-sama kami takuti. Semoga saya hidup cukup lama untuk melihat masyarakat menerima adanya pemimpin dari yang lain.

Muhammad Hanif Chusnul Farhan
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia
Angkatan 2015

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Pemimpin dari yang Lain