ITS News

Jumat, 27 September 2024
15 Maret 2005, 12:03

Sampah Rumah Tangga Jadi Pembangkit Listrik

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Jangan sepelekan sampah rumah tangga. Sebab, barang buangan itu bisa dimanfaatkan sebagai bahan alternatif pengganti gas alam, minyak bumi dan panas bumi yang dipakai untuk pembangkit tenaga listrik. Tak hanya itu, setelah dipergunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, limbahnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kaca, paving, keramik hingga pupuk tanaman.

Temuan bermanfaat itu diungkap tiga mahasiswa jurusan Fisika ITS Surabaya dalam sebuah karya ilmiahnya berjudul: Pengolahan Sampah Rumah Tangga sebagai Alternatif Pembangkit Eenergi Listrik. Ketiga mahasiswa itu adalah Agustina Rachmawardani, Lilik Anifah serta Dewi Puspasari.

Karya ilmiah itu berhasil lolos ke final yang akan diadu di arena LKTI (Lomba Karya Tulis Ilmiah) PIMNAS XV di Unair 6 – 10 Maret ini.

Menurut Agustina, proses pengolahan sampah menjadi bahan dasar pembangkit listrik ini dilakukan dengan mengeringkan sampah terlebih dulu agar mudah dibakar. "Sebab, sampah di negara kita ini kebanyakan tergolong sampah basah, sehingga harus dikeringkan dulu sebelum dibakar," ujar Agustina.

Usai dikeringkan, sampah dibakar di incenerator (alat pembakar sampah). Sampah kering seberat 100 ton yang dibakar selama empat jam, akan menghasilkan suhu antara 800 – 1100 derajat celsius. Panas itulah yang kemudian disalurkan ke boiler (alat berisi air) untuk mendidihkan air.

Uap air yang dikeluarkan, selanjutnya mampu menggerakkan turbin pembangkit listrik. "Setelah itu akan dihasilkan induksi magnetik dari generator listriknya," urainya.

Berapa daya listrik yang bisa dihasilkan? Menurut mahasiswi angkatan 99 itu, 100 ton sampah mampu menghasilkan 5 megawatt listrik (5 ribu kilowatt). Ditinjau dari harga jual perkilowattnya, ini lebih murah dibanding menggunakan minyak bumi atau panas bumi. "Harga jual perkilowattnya sekitar Rp 134. Ini jauh lebih irit ketimbang memakai panas bumi yang mencapai Rp 169. "Jadi, irit sekitar 20 persen. Selain itu sampah bisa tereduksi sampai dengan 90 persen," tandasnya.

Ditambahkan, proses tersebut sebenarnya telah lama dikembangkan di Amerika Serikat dan Jerman. Di dua negara tersebut, sampah yang dihasilkan sudah dalam bentuk kering sehingga mudah untuk diolah. Sementara di Indonesia, sampah yang dihasilkan adalah sampah basah yang harus dikeringkan terlebih dahulu.

Sayangnya, menurut pengamatan ketiganya, pengering sampah yang dimiliki LPA Sukolilo kondisinya sudah sangat memprihatinkan. "Sehingga cukup sulit diterapkan di negara kita, karena minimnya sarana yang dimiliki," sesal Dewi Puspasari, anggota tim lainnya.(arr)

Berita Terkait