ITS News

Senin, 30 September 2024
13 November 2005, 16:11

Dari Jepang, Alumni ITS Sumbangkan Pemikiran di Lustrum Ke-9 (2-Habis)

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tak terasa sudah lima tahun lamanya Mochammad Hariadi berada di Jepang. Selama itulah beragam pengalaman dan pelajaran menghiasi hari-hari pria yang juga tercatat sebagai staf pengajar Teknik Elektro ITS itu. Suka dan duka mewarnai perjuangan selama menimba ilmu di Tohoku University, Sendai.

Dari bangku kuliah, misalnya. Pria tinggi besar yang dikenal humoris ini menyebutkan bahwa kecerdasan mahasiswa Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan mahasiswa Jepang. `Dari segi kecerdasan, kita sebenarnya gak kalah, Rek. Yang membedakan cuma kreativitas. Dan juga mahasiswa-mahasiswa Jepang selalu terlihat lebih termotivasi setiap kali mengerjakan sesuatu,` seloroh Hariadi yang masih "ingat" dengan bahasa Suroboyoannya.

Pelajaran semacam itulah yang membuat Hariadi juga termotivasi untuk segera merampungkan studinya. Rencananya, Maret 2006, pria asli Surabaya itu siap menyandang gelar doktor dari Tohoku University.

Senada dengan Hariadi, Made Sucipta juga mengakui bahwa kreativitas orang-orang Jepang pantas untuk ditiru. `Saya inginnya kalau kembali ke tanah air, kreativitas para dosen kita juga bisa semakin ditingkatkan,` ungkap Made yang kini menempuh program doktor di Kyushu University.

Tak berbeda jauh dengan pengalaman kehidupan sehari-hari. Banyak pelajaran yang dipetik dari pergaulan dengan orang Jepang. "Kalau saya lihat, orang Jepang itu harga diri dan rasa malunya tinggi. Mereka tak akan mengambil apa pun yang bukan haknya. Dan, mereka akan sangat malu jika disebut malas. Makanya, orang sini (Jepang) bilang, mereka boleh bodoh tapi tak boleh malas biar gak malu dengan orang lain," papar Hariadi.

"Yang lebih penting, 80 persen orang sini taat aturan. Makanya semua terlihat sangat tertib dan kehidupannya sangat teratur," sambungnya.

Kendati tinggal di negeri asing, bapak dua anak ini tak merasa kehilangan suasana kampung halaman. Di tempat tinggalnya saat ini, komunitas pelajar Indonesia cukup banyak. Acara kumpul-kumpul pun sering digelar. "Misalnya, acara makan-makan, ada teman baru datang, atau bantuin pindahan. Bikin sate, gado-gado, dan semacamnya," kata Hariadi yang mengaku sudah kangen dengan bakso.

Dari acara kumpul-kumpul itu, lanjut Hariadi, mereka sempat mendapatkan pengalaman unik. Yakni ketika secara tiba-tiba diundang masyarakat setempat untuk memeriahkan sebuah acara. "Ceritanya kita diundang untuk nyanyi. Kebetulan mayoritas teman-teman kumpul dari Jawa. Jadilah kita tampil, meski sempat ada insiden lucu seorang kawan lupa syair lagunya saat udah berdiri sendiri di depan panggung," paparnya sambil terbahak.

Satu lagi, imbuh Hariadi, yang membuat mahasiswa-mahasiwa Indonesia senang tinggal di Jepang. "Di sini sering digelar fleamarket. Itu basar barang-barang second hand dengan kualitas masih bagus," ungkapnya. Dengan kantong terbatas, tak sedikit mahasiswa Indonesia yang memilih berburu di fleamarket untuk mencari barang bekas tapi bagus. Mulai kebutuhan sehari-hari hingga barang elektronik. Orang Jepang dikenal cukup telaten merawat barang-barang. Tak heran, meski kadang barang yang ada di fleamarket termasuk barang-barang kuno, tapi kondisinya masih sangat bagus.

Dalam rentang waktu lima tahun tersebut, bukan hanya pengalaman suka cita berkumpul teman-teman sekampung halaman ataupun berkeliling dari ujung utara (Hokkaido) hingga selatan (Okinawa) yang dilakoni Hariadi. Saat-saat sedih juga sempat dirasakannya. Meski tak separah Hokkaido, musim dingin di Sendai yang terletak di bagian timur laut di pulau Honshu cukup memusingkan kepalanya. Dengan tak terbiasa bermobil di atas salju, maka alternatif untuk aktivitas pun harus dengan jalan kaki. "Tapi ya gitu. Udah gak kehitung berapa kali kami terpleset," sebutnya.

Indra Adji Sulistijono pun setali tiga uang dengan Hariadi. Selama tiga tahun berada di Jepang, boleh dibilang suasana suka cita lebih banyak mewarnai kehidupan staf pengajar Politeknik Elektro Negeri Surabaya ITS ini. Indra yang kini menempuh program doktor bidang robotika di Tokyo Metropolitan University ini mengaku tak terlalu berduka meski harus berpindah ke beberapa tempat lantaran mengikuti "sensei" (panggilan bagi profesor di Jepang). Harap diketahui, pindahan merupakan salah satu hal yang paling "taihen" (berat) di Jepang. Ketika pindahan, perabot rumah tangga menjadi masalah utama. Jika memutuskan untuk tak membawa serta perabot tersebut, siap-siap merogoh uang sebagai ongkos membuang barang. Tapi, jika memutuskan untuk membawa serta semuanya, bisa dibayangkan berapa mahal ongkos kirimnya. Terlebih jika harus pindah ke kota lain. Belum lagi masalah ongkos sewa rumah.

"Di Jepang acara pindahan yang paling memusingkan," kata Indra yang mengaku telah mengalami sedikitnya tiga kali pindahan selama tinggal di Fukui dan Tokyo.

Meski memberatkan, Indra mengaku beruntung. "Barangkali memang tak banyak rekan seperti saya yang harus pindah ke sana-sini. Tapi, justru itu memberikan hikmah tersendiri bagi saya. Paling tidak, saya jadi tahu tempat-tempat baru di sini," papar Indra.

Pengalaman lain juga dilontarkan Agus Zainal Arifin. Perbedaan bahasa juga sempat disebut Agus sebagai masalah selama tinggal di Jepang. Staf pengajar di Teknik Informatika ini masih ingat betul ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jepang dua tahun lalu. "Bekal pengetahuan bahasa Jepang saya saat itu sangat minim," tutur Agus yang kini menempuh tahun ke-2 program doktor di Hiroshima University. Namun seiring waktu, Agus pun tak lagi kesulitan.

Pendek kata, kendati terpencar di berbagai kota di Jepang, hubungan alumni ITS cukup kuat. Saling gali informasi terus dilakukan untuk membangun jaringan. Para alumnus menyakini melalui hubungan erat yang terjalin itulah secara tidak langsung juga membantu memperkokoh eksistensi ITS. Semuanya bercita-cita menjadikan ITS sebagai perguruan tinggi berskala international. "Mudah-mudahan di lustrum kali ini harapan ITS untuk mendapatkan pengakuan international segara terwujud,"ungkap Sri Fatmawati, dosen Kimia MIPA yang sedang belajar di Kyushu University.

"Yang utama, ITS juga harus lebih banyak belajar dari perguruan-perguruan tinggi di luar negeri," pungkas Suntoyo, staf pengajar Teknik Kelautan yang kini tengah menimba ilmu di Tohoku University.

(Hadipoer, alumnus Fakultas Teknik Mesin ITS angkatan 1987, sekarang bekerja sebagai peneliti di Hokkaido University)

Berita Terkait