ITS News

Senin, 30 September 2024
21 Januari 2006, 11:01

Rumah Pendiri ITS Asnoen Arsat yang Jadi Rebutan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kaget, Utang Rp 15 Juta Bengkak Rp 600 Juta
Dulu Asnoen Arsat dikenal kaya raya. Tapi, satu per satu asetnya lepas. Kini tinggal satu rumah yang bisa dipakai anak almarhum pendiri ITS tersebut untuk berteduh. Tapi, rumah itu pun terancam dieksekusi paksa.

Hawa sejuk langsung terasa begitu memasuki rumah di Jalan Embong Ploso 25 itu. Berbeda dengan hawa panas di luar, angin semilir berembus di antara dua pohon rindang di pekarangan rumah. Meski termasuk rumah lama, keanggunannya masih terasa dari halaman yang luas serta pelataran yang dikeraskan tatanan batu kali.

Ya, itulah rumah (alm) Asnoen Arsat. Di rumah itulah pendiri Yayasan Perguruan Tinggi ITS (cikal bakal ITS) pernah tinggal. Mereka pernah hidup sejahtera bersama istrinya, Ny Djinoen, beserta anaknya. Maklum, sekitar 1950-an, Asnoen salah satu konglomerat terkenal di Surabaya.

"Dulu Bapak punya banyak pabrik. Salah satu yang terkenal adalah pabrik paku di Waru. Wajar jika Bapak bisa membangun rumah semegah ini," kata Asaningsih, putri kedua Asnoen yang masih tinggal di rumah itu.

Bahkan, pada zaman bapaknya, rumah yang berdiri di atas lahan 1.332 meter persegi tersebut merupakan salah satu bangunan paling megah di Surabaya. "Siapa yang nggak bangga tinggal di rumah sebesar itu," tambah Asaningsih yang kini berusia 56 tahun itu.

Tapi, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Kebijakan pemotongan nilai uang (sanering) di era Presiden Soekarno (Rp 1.000 menjadi Rp 1) membuat bisnis Asnoen kolaps. Satu per satu bisnisnya harus dilepas. Tanahnya di beberapa tempat juga dijual untuk menyambung hidup. "Karena keadaan itu, Bapak akhirnya meninggalkan kami semua pada 1985," terang Asaningsih.

Ny Djinoen akhirnya menjadi orang tua tunggal (single parent) untuk 10 anaknya yang masih kecil. "Ibu kami orang yang pantang menyerah untuk mempertahankan hidup," jelasnya.

Silih berganti cobaan mendera keluarga itu. Hingga akhirnya putri kesembilan, Agustiningsih, jatuh sakit pada 1992. Saat itu Agustiningsih harus berjuang melawan maut karena disfungsi ginjal. "Ginjal Tante Nining harus diambil satu," kisah Rifki Fauzi, anak Asaningsih, yang mendampingi ibunya. Dia harus menjalani operasi yang memakan biaya besar.

"Namanya anak sakit, walaupun tak tidak punya duit, ya harus dicari-carikan," jelas Rifki. Saat itu Agustiningsih harus operasi ginjal di RSU dr Soetomo. Untuk menyelamatkan Agustiningsih, mau tidak mau harus dilakukan pengambilan ginjal. "Sampai sekarang, Tante tinggal menggantungkan hidup pada satu ginjal saja," terang cucu kesayangan Asnoen ini.

Sebagai ibu, Ny Djinoen sampai mati-matian mencari pinjaman uang. "Ke sana kemari tetap saja buntu," jelas laki-laki berusia 30 tahun ini.

Akhirnya Ny Djinoen meminjam uang kepada salah satu teman anaknya, Faiz Ramzy. Karena yang bersangkutan tak punya duit, akhirnya Faiz menyarankan kepada salah satu mitra kerja Faiz: Budi Said. "Saat itu (1992, Red) hanya pinjam Rp 15 juta. Itu pun untuk biaya pengobatan," jelas Rifki.

Saat itu Budi juga mempersyaratkan ada sertifikat rumah sebagai jaminan (saat itu nilai bangunan yang tertera di sertifikat tersebut senilai Rp 2,5 miliar). "Karena mendesak, apa pun dituruti dulu," jelasnya.

Rupanya kisah tersebut tak berhenti di situ. Budi Said malah meminta Ny Djinoen dan dua anak laki-lakinya menandatangani akta No 24, 25, 26 di hadapan notaris Abdurazaq Ashiblie. "Budi Said menyatakan jika akta itu hanya formalitas dan pegangan," katanya.

Namun yang terjadi, akta itu ternyata berisi perjanjian jual beli, pelepasan hak dan kuasa untuk menjual. Maklum saja, pendidikan Ny Djinoen hanya sampai level dua sekolah rakyat (SR). "Dua anaknya juga masih remaja, sehingga tak banyak tahu soal bahasa akta yang njlimet," kata Rifki.

Mengetahui ada persoalan serius, pada 1993 (sekitar setahun setelah pinjam), Ny Djinoen berniat kembali membayar utangnya itu. Tapi, Budi Said malah meminta Rp 600 juta. "Siapa yang nggak kaget utang Rp 15 juta jadi menggelembung sebesar itu," jelasnya.

Tak berhenti sampai di situ, Ny Djinoen kemudian diminta menandatangani akta sewa-menyewa rumah. "Bayangkan, Nenek disuruh menyewa rumahnya sendiri," terangnya.

Klimaksnya rumah itu kemudian dijual oleh Budi Said kepada Ny Ida Melani yang notabene stafnya sendiri. Seolah-olah tanah tersebut sudah berpindah kepemilikan.

Karena Ny Djinoen dan anaknya tetap bertahan di rumah yang dibangun suaminya, Ida Melani lalu menggugat Ny Djinoen ke PN Surabaya. Di pengadilan tingkat pertama Ny Djinoen memperoleh kemenangan. Tapi, mimpi itu kembali buyar ketika keluarga Ny Djinoen menelan dua kali kekalahan dalam putusan banding di PT dan kasasi di Mahkamah Agung.

Dengan dasar putusan MA yang sudah inkracht van bewijsde (berkekuatan hukum tetap) itulah pihak Ida Melanie melaksanakan eksekusi. Namun karena alasan keamanan, eksekusi itu gagal dilaksanakan 28 Desember lalu.

"Upaya kami mempertahankan rumah ini sudah habis-habisan," kata Agustiningsih. Empat hari sebelum eksekusi, Agustiningsih sempat rawat inap di RS Budi Mulia.

Wanita berusia 36 tahun yang akrab disapa Nining ini mengaku sering diliputi perasaan bersalah yang hebat. "Utang Ibu itu terjadi karena saya sakit. Kalau teringat eksekusi rumah, rambut saya semakin banyak yang rontok," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Rumah itu memang masih ditempati empat keluarga (putra Asnoen). Mereka tinggal di situ karena belum mampu membeli rumah. "Kalau rumah itu dikosongkan, kami harus tinggal di mana?" jelasnya.

Yang menarik, pelaksanaan eksekusi rumah Asnoen ini juga mengundang simpati dari Rektor ITS Prof dr Mohammad Nuh. "Semua ahli waris pernah diundang Pak Rektor di ITS. Intinya, Pak Nuh akan membantu," kata Nining. Sampai-sampai ITS pernah mengirimkan surat ke Mahkamah Agung untuk melakukan penangguhan eksekusi rumah itu.

Selain itu, kuasa hukum keluarga Asnoen, Sabar Situmorang, juga mengirimkan surat ke Komisi Yudisial. Paling tidak untuk mempertimbangkan dan mengkaji kembali ada apa di balik putusan itu.

Di pihak lain, kuasa hukum Ida Melanie, Ening Suwandari, menyatakan pelaksanaan eksekusi sudah tepat. Pasalnya, baik di PT maupun MA, kliennya sudah dinyatakan memenangkan putusan itu. Dasar pelaksanaan putusan itu kuat," katanya. Apalagi pokok perkara juga sudah diperiksa oleh majelis dengan baik.

Menurut dia, 28 Januari nanti dilakukan upaya eksekusi lagi. "Kalau masih dihalang-halangi, aparat dan juru sita akan melakukan upaya paksa," kata pengacara bersuara lemah lembut ini. (anggit satriyo)

Berita Terkait