ITS News

Jumat, 04 Oktober 2024
21 April 2009, 23:04

Vincentius Totok Noerwasito dan Inovasi Batu Bata dari Bahan Alternatif

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Berbagai jenis batu bata dipajang di ruang dosen jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSp), ITS. Ada warna hitam, abu-abu, dan putih mangkak. "Yang hitam ini terbuat dari abu tebu, yang abu-abu bisa dari serbuk kayu atau tanah tambak, sedangkan yang putih dari limbah kertas," jelas Vincentius Totok Noerwasito, dosen mata kuliah struktur di FTSp ITS.

Dialah pembuat batu bata dari berbagai bahan alternatif tersebut. Ilmu itu ia peroleh dari kursus khusus tentang batu bata di sebuah sekolah arsitek di Grenoble, Prancis. "Di situ, saya dapat pengetahuan baru. Bahwa tidak selamanya bata tanah liat harus dibakar. Ada cara lain yang memungkinkan bata kering tanpa dipanaskan dengan api," papar bapak tiga anak tersebut.

Bahan yang digunakan pun tidak harus tanah liat dari lahan subur sebagaimana umumnya dipakai. Tapi, bisa tanah liat lokal dan material alternatif lain seperti limbah. "Selama ini bahan batu bata adalah tanah liat di lahan subur di desa. Itulah yang antara lain membuat biaya mahal karena ada ongkos transportasi," katanya.

Padahal, batu bata bisa berbahan tanah liat lokal. Misalnya, tanah liat di Surabaya. "Kalau dibuat di Surabaya dan digunakan di Surabaya misalnya, kan ngirit ongkos," ujarnya.

Totok sudah mengajukan hak paten atas pembuatan batu bata dari tanah liat lokal itu pada 2002. "Tapi, sampai sekarang (hak paten itu, Red) belum keluar," katanya. Selain batu bata dari tanah liat lokal, Totok secara bersamaan mematenkan batu bata dari abu tebu.

Penelitian penggunaan tanah liat lokal untuk batu bata itu dimulai tak lama setelah dirinya kembali dari Prancis pada tahun 1990. Ia mencoba tanah di daerah Pandaan. Totok tidak bisa serta-merta menerapkan ilmu yang didapatkan di Prancis.

Ia harus menyederhanakan teknologi pembuatan dan mengubah komposisi bahan. "Harapan saya agar pembuatan batu bata tersebut bisa dikerjakan orang-orang tanpa keahlian. Misalnya, para petani desa, bukan praktisi yang telah mengecap ilmu dari sekolah tinggi," tegasnya.

Berkali-kali penelitiannya gagal. Mulai campuran yang tidak pas sampai cetakan yang kurang sesuai. Ramuan paten baru ditemukan lima tahun kemudian. Totok mencampur tanah lokal dengan semen dan kapur agar kuat dan dapat kering tanpa pembakaran. "Keringnya hanya diangin-anginkan," katanya.

Sedangkan cetakannya, setelah bereksperimen dengan bermacam bahan, ternyata bahan besi paling efisien. "Saya membuatnya dengan ukuran standar internasional," ujarnya. Totok juga menjadikan penelitian tersebut sebagai bahan tesis untuk meraih gelar magister bidang manajemen konstruksi di ITS.

Setahun setelah itu, ranah penelitiannya lebih luas. Yakni, batu bata dari limbah. Totok mencoba abu tebu sisa pabrik gula. Abu tebu adalah abu dari ampas tebu yang dipakai sebagai bahan bakar di pabrik gula. "Selama ini, abu tebu hanya jadi sampah. Ditumpuk begitu saja hingga memakan lahan pabrik," ungkapnya.

Ia mengambil sampel abu dari Pabrik Gula Candi, Sidoarjo, dan pabrik gula di daerah Mojokerto. Ia bekerja sama dengan putra sulungnya, Arya Nurakumala, 26, serta pembuat bata asal Jebon, Mojokerto.

Menggunakan ramuan dan teknik temuannya, Totok berhasil menciptakan batu bata dari abu tebu. "Batu bata itu kuat. Saya tes tekan kekuatannya mencapai 40 kg/cm2. Saya coba taruh di luar dan kena air hujan selama berminggu-minggu, tidak keropos," tegas Totok sembari menunjukkan batu bata warna hitam.

Ketika bencana lumpur di Sidoarjo meruap pada tahun 2006, Totok juga mencobanya sebagai bahan batu bata. Namun, bata dari lumpur itu banyak kendala. Salah satunya, komposisi lumpur yang terlalu banyak mengandung clay dan teksturnya lebih halus.

Hal itu membuat lumpur susah dicampur semen dan kapur. Bahannya terlalu lengket dan lama keringnya. Kalaupun kering, kekuatan masing-masing berbeda. Totok sempat membuat contoh bangunan dari bata lumpur itu berupa bangunan kecil seperti gardu di belakang FTSP ITS. Ternyata, kualitasnya tidak begitu bagus.

Bata lumpur gampang keropos oleh air. Meski begitu, bata tersebut memiliki sisi keunggulan. "Bata lumpur Sidoarjo bisa menyerap panas hingga dua derajat celsius," jelasnya. "Setelah saya periksa, para pembuat bata itu ternyata tidak menakar sesuai resep yang saya berikan. Itulah yang membuat bata lumpur cepat rompal," ujarnya.

Sebab, setelah percobaan gagal tersebut, dia memberikan bimbingan jarak jauh terhadap mahasiswa di Jakarta untuk membuat bata lumpur Sidoarjo. Ternyata, kukuh. Setelah diuji kekuatan di lab Universitas Indonesia, kekuatannya mencapai 40 kg/cm persegi.

Totok terus mencetak batu bata berbahan alternatif lain. Mulai serbuk kayu, tanah tambak, hingga dari kertas. Sayang, penciptaan tersebut masih jadi wacana. Sampai sekarang belum ada aplikasi langsung menggunakan batu bata inovasi tersebut. "Sebenarnya, saya sering membuat pelatihan untuk orang pedesaan cara pembuatan batu bata ini," kata Totok.

Mulanya, mereka sangat antusias mengikuti pelatihan. Namun, mereka tak kunjung mempraktikkan. "Salah satunya, ya karena mereka tidak begitu yakin sama prosesnya yang tanpa dibakar. Mereka tidak yakin kekuatan batu bata tanpa dibakar tersebut," jelasnya.

Padahal, kalau hanya soal kuat, itu persoalan mudah. "Tinggal tambahkan banyak semen, pasti kuat," ujarnya. Totok mengaku tak sanggup memasarkan sendiri hasil temuannya. "Jiwa saya ini peneliti, bukan marketing," katanya.

Keberhasilan Totok membuat batu bata dari bahan alternatif itu sebenarnya berangkat dari kuliah yang gagal. Musim dingin di Prancis pada 1989, tahun ketiga Totok menetap di negara menara Eiffel itu. Dosen ITS yang kala itu baru menginjak 34 tahun tersebut tengah menempuh studi di Institut National des Science Appliquees (INSA), Lyon, Prancis.

Mengantongi beasiswa, Totok belajar mengenai material science, ilmu yang tidak dia dapatkan di almamaternya. Tahun ketiga itu adalah tahun penegasan bagi Totok. Sebab, makin lama belajar, dia merasa makin tak bisa menyerap ilmunya.

"Itu bukan bidang saya. Lagi pula, teknologi yang diajarkan terlalu tinggi. Susah diaplikasikan di Indonesia," katanya. Kuliahnya pun kacau. Dia gagal menyandang gelar dari institut tersebut.

Namun, Totok tak ingin pulang dengan tangan hampa. Setelah beasiswa habis, dia tak langsung balik ke Indonesia. Dia menambah ilmu sendiri, mengambil kursus khusus pembuatan batu bata di sebuah sekolah arsitektur di Grenoble.

"Saya pilih mendalami pembuatan bata tanah liat karena material tersebut yang paling mungkin dikembangkan di Indonesia," tuturnya. Dia resmi terdaftar di sekolah tersebut pada 1990. Tahun itu juga dia kembali ke Indonesia.

Kursus tersebut menekankan pada pemakaian bahan-bahan lokal. Materi itu lalu dicampur bahan-bahan lain, salah satunya kapur dan semen. Setelah dipadatkan, adonan dikeringkan dengan metode auto clave (pengeringan dengan uap air).

Waktu itu, Prancis memang sedang mengembangkan material hemat biaya. Penggunaan bahan lokal akan menekan biaya transportasi. Dengan demikian, harga bahan makin hemat.

Tidak hanya ramah kantong, tanpa pemanasan membuat produk tersebut hemat energi, sumber daya alam, dan ramah lingkungan. "Pemikiran itu didasarkan pada kenyataan bahwa 40 persen sumber daya alam dunia tersedot untuk pembuatan konstruksi, termasuk bahan bangunan, per tahun," jelas Totok.

Sumber daya alam itu mulai tanah, kerikil, air, hutan, termasuk minyak. Kebutuhan tersebut sangat mungkin meningkat dari tahun ke tahun. Bila hal itu terus-menerus terjadi, sumber daya alam bisa terkikis habis. "Itu belum termasuk polusi yang disebar akibat pembuatan bahan-bahan bangunan tersebut," ungkapnya.

Ilmu yang diperoleh Totok itu idealnya bisa dikembangkan di tanah air. "Batu bata lokal umumnya menggunakan tanah liat dari lahan subur. Pembuatannya kerap dilakukan di desa dan dipadatkan dengan jalan dibakar. Ilmu ini bisa memberikan pengembangan," jelas suami Lintang Trenggonowati tersebut. (cfu)

Berita Terkait