ITS News

Jumat, 04 Oktober 2024
11 Juli 2009, 06:07

Pape Diane Sene, Warga Senegal Kuliah di ITS Laris Jadi Model

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

KULIT hitam legam, rambut keriting dipotong pendek, plus tubuh tinggi besar membuat Pape Diane Sene berbeda dari model-model lain. Dalam beberapa kali peragaan busana di Surabaya, dia sangat mudah dikenali.

Pria dengan tinggi 188 cm dan berat sekitar 76 kg itu memang asal Senegal, Afrika Barat. Kiprahnya di dunia model kini tak sebatas di Surabaya, tapi sudah merambah Jakarta. Oktober 2008, dia diminta menjadi salah seorang model untuk majalah FHM. Kemudian, majalah Cosmopolitan juga memanfaatkan tampangnya untuk edisi Januari-Februari 2009.

”Ini pengalaman luar biasa. Banyak model yang ingin dipotret di majalah. Dan saya mendapatkannya. Padahal, saya tidak mengkhususkan diri di dunia ini,” katanya ketika ditemui di sebuah kedai kopi di Surabaya Town Square, Senin lalu.

Pape memang bukan model beneran. Dia datang ke Indonesia, tepatnya Surabaya, untuk melanjutkan pendidikan. Dia tiba di Surabaya pada September 2007 dengan beasiswa dari Institue Africain de Management. Kampus tempatnya menyelesaikan pendidikan S-1 itu memang punya kerja sama dengan ITS. ”Saya ditawari kampus. Karena saya memang ingin sekolah di luar negeri, saya coba,” ujar cowok kelahiran Dakar, 16 Juli 1982, tersebut.

Sebenarnya, Pape ingin melanjutkan sekolah ke AS. Tapi, karena persaingan ketat, dia gagal. Peluang datang dari Indonesia. Meski tak pernah mendengar nama Indonesia, putra kedua pasangan Salif Sene dan Khady Ndiage tersebut tertarik mencoba.

”Soalnya, yang saya cari adalah pengalaman hidup di negara lain. Di keluarga saya, rata-rata usia 19 tahun sudah ke luar negeri. Sementara saya 25 tahun masih ikut orang tua,” ungkapnya.

Setelah proses seleksi terpenuhi, dia menjalani masa pengenalan Indonesia dengan orang Kedutaan Besar RI di Senegal. ”Saya diajak mengenal budaya dan bahasa Indonesia. Waktu itu, saya diajak membuka situs YouTube, terus dikasih lihat lagunya Ahmad Dhani,” kenangnya. Setelah itu, dia rutin menghadiri acara-acara kedubes RI di sana. ”Ada makanan tradisional dan segala macamnya,” lanjut Pape.

Sejak saat itu, dia mulai familier dengan Indonesia. Ketika datang ke Indonesia, dia sudah tidak terlalu kaget. ”Tidak ada yang mengejutkan. Paling yang lucu waktu saya pergi ke toko. Dulu saya belum bisa berbahasa Indonesia. Jadi, waktu tanya pakai bahasa Inggris, yang punya toko lari. Dia tidak mau melayani. Jadi, saya sama teman bengong,” ceritanya lantas tertawa kecil.

Karena itu, dia berusaha keras belajar bahasa Indonesia. Caranya, sering bergaul dengan mahasiswa Surabaya. Juga, belajar dengan rekan-rekannya di komunitas basket. ”Kalau sesama mahasiswa asing, kami cenderung pakai bahasa Inggris. Sekarang saya sudah bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Jawa, saya mengerti sedikit, tapi tidak bisa bicara,” paparnya.

Bagaimana bisa jadi model? Ketika sedang nongkrong di GWalk, CitraLand, bersama teman-temannya, dia didatangi seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai agency dari Red Models. Agen itu menawari dirinya bergabung jadi model. ”Dia juga ngasih nomor HP. Waktu itu saya bingung. Orang ini mau ngapain?” tutur Pape.

Ketika pulang, semua teman mendesaknya untuk menghubungi perwakilan model tersebut. Tapi, Pape tak mengindahkan. ”Saya akhirnya penasaran. Saya ketemu Minggu, Jumat-nya saya telepon dia,” kata Pape. Setelah dijelaskan, dia pun tertarik. Apalagi, dunia model bukan hal yang benar-benar baru. ”Ada sepupu yang jadi model sama stylish di Prancis sana. Jadi, saya sedikit tahu lah,” ungkapnya.

Karena itu, dia pun bergabung dengan agen tersebut. Selama sebulan, sekali sepekan dia harus menjalani latihan berjalan di atas catwalk atau pose untuk pemotretan. Pape mendapat order pertama menjadi model untuk mahasiswa Tata Rias Unesa. ”Karena buat sekolah, mulai Januari sampe Juni 2008 saya jadi model mereka,” katanya. Sejak saat itu, tawaran untuk beraksi di depan kamera mulai mengalir.

Dapat banyak uang dong? Pape tertawa lebar. ”Banyak atau sedikit itu relatif. Mau seratus ribu atau seratus juta, itu adalah penghasilan yang harus disyukuri. Lagi pula, saya lebih mengutamakan pengalaman. Bertemu banyak orang atau pergi ke banyak tempat,” tegas cowok yang tidak mau menyebutkan nilai uang yang diperolehnya selama menjadi model tersebut.

Misalnya, pengalamannya ketika harus bergaya seperti cewek. ”Saya dipakai produk yang bisa dipakai cewek sama cowok. Jadi, saya harus pakai baju cowok, tapi pakai lipstik, terus gayanya juga seperti cewek,” paparnya. ”Waktu itu saya dirias di Tunjungan Plaza, tapi difoto di luar. Saya harus jalan sambil dilihatin banyak orang. Kalau tidak jadi model, mana pernah begitu,” lanjutnya lantas tertawa lepas.

Menjadi model, kata dia, sama dengan menyalurkan hobi, bukan melakoni pekerjaan. Karena itu, dia tidak menilai dengan uang. Pape menyamakan seperti kesenangannya bermain basket. ”Its fun. Itu saja,” kata cowok yang rajin mengikuti kontes slam dunk dalam acara NBA Madness presented by Jawa Pos yang berlangsung beberapa waktu lalu itu.

Meski tak sedikit dapat order, Pape tidak mau memprioritaskan model. Dia menerima tawaran jadi model karena tidak mengganggu jadwal kuliah. Fashion show berlangsung setiap Sabtu atau Minggu. Kalaupun hari kerja, biasanya setelah kuliah. ”Sekolah tetap nomor satu. Jadwal saya sih tiga tahun di ITS. Tapi, kalau bisa selesai lebih cepat lebih baik,” ujarnya.

Belajar IT merupakan impiannya sejak kecil. ”Saya suka komputer dan segala macamnya sejak usia 15 tahun. Waktu itu, saya mendapat komputer untuk kali pertama,” terang Pape. Sejak saat itu, dirinya selalu menempatkan dunia IT di atas segalanya. Termasuk, untuk pekerjaan yang dilakoni nanti.

Kalau ada tawaran lebih bagus di dunia model? ”Saya harus lihat dulu. Apakah tawaran itu menjanjikan jika dibanding dunia IT. Kalau iya, boleh saya ambil. Tapi, nanti tetap setelah model, kerja di IT lagi,” ujarnya.

Soal tempat, Pape belum memutuskan. ”Tidak tahu, bergantung tawaran. Saya memang ingin bekerja di luar negeri. Tapi, saya hitung dulu, apakah nilai yang ditawarkan lebih besar daripada yang di Senegal sana,” katanya. (*/cfu)

Berita Terkait