ITS News

Kamis, 03 Oktober 2024
09 April 2012, 08:04

Wamen ESDM usulkan SPBG di setiap SPBU

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

"Saya kira, SPBG yang ditaruh di SPBU itu memungkinkan, karena hanya membutuhkan sebuah tangki berukuran 3×6 meter atau 20 meterpersegi dan sebuah dispenser," katanya dalam "Forum Group Discussion" dengan Rektor ITS Prof Ir Triyogi Yuwono DEA, alumni dan BEM ITS di Rektorat ITS Surabaya, Kamis.

Dalam forum bertajuk "Kebijakan Energi Nasional, Penghematan dan Subsidi BBM" yang juga dihadiri sejumlah dirjen ESDM, direktur BUMN (Pertamina dan PGN), dan anggota dewan energi nasional (DEN) itu, Wamen menawarkan alternatif untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM.

Tawaran yang disampaikan ada tiga hal yakni beralih ke bahan bakar gas (BBG) dengan SPBG, beralih ke premix atau BBM dengan angka oktan 90 (RON 90) yang merupakan campuran pertamax (okta 92) dengan premium (oktan 88), dan "water to gas" yang merupakan energi alternatif yang diteliti ITS sejak 2007.

"Saya pernah memakai alat `water to gas` itu dari alumni ITS yang menjadi dosen di Unas (Universitas Nasional, Jakarta), ternyata hemat 30 persen lebih. Kalau harga BBM naik 30 persen ya tentu tidak akan terasa, karena impas," tukasnya.

Menurut dia, peralihan dari BBM ke BBG dengan mendirikan SPBG di SPBU itu mudah, namun kendalanya ada pada Pertamina yang memiliki peraturan bahwa semua SPBU hanya boleh menjual barang milik Pertamina.

"Nanti, saya akan minta Pertamina agar aturan tersebut segera dicabut. Kalau peraturan itu sudah dicabut, maka penjualan BBG (bahan bakar gas) di SPBU bisa lebih mudah, sehingga pemerintah melalui PGN (perusahaan gas negara) tidak perlu memikirkan pendirian SPBG," ucapnya.

Langkah itu, katanya, akan bisa mendukung keberhasilan program pemerintah tentang konversi minyak ke gas, termasuk untuk penggunaan BBM ke BBG bagi kendaraan bermotor, sehingga masyarakat tidak tergantung lagi pada BBM, terutama BBM yang bersubsidi yang akan naik harganya.

"Indonesia bukan lagi sebagai negara yang kaya minyak, sehingga pemilihan penggunaan BBM merupakan pilihan yang mahal, sedangkan cadangan gas Indonesia justru lima kali lebih banyak dibandingkan dengan minyak, sehingga `compressed natural gas` (CNG) atau gas kota merupakan pilihan yang baik," tuturnya.

Solusi lain, Widjajono mengusulkan pemakaian premium berangka oktan (RON) 90 atau yang disebut premix untuk menekan besaran subsidi BBM. Premix 90 merupakan campuran antara bahan bakar minyak bersubsidi premium RON 88 dengan pertamax RON 92.

"Harga premix RON 90 ini cukup terjangkau yakni sebesar Rp7.250 per liter, sehingga diharapkan masyarakat yang selama ini menggunakan premium bisa beralih ke produk premix. Begitu pula bagi pengguna pertamax yang tentunya juga merasa keberatan dengan adanya kenaikan harga BBM nantinya," ujarnya.

Pilihan itu merupakan solusi untuk pemakai pertamax, jika mereka memandang tidak ingin menggunakan BBM nonsubsidi yang dinilai mahal, sedangkan pemakai BBM bersubsidi pun tetap terpenuhi kebutuhannya dengan adanya premix RON 90 yang tidak terlalu mahal itu.

"Tapi, pengguna premix RON 90 seharusnya hanya mereka yang memiliki kendaraan yang berkapasitas di bawah 1.300 cc, bukannya para pengguna mobil mewah yang masih mampu untuk membeli pertamax. Saya kira, ITS bisa membuat sejenis `smart card` untuk itu," katanya.

Tentang "water to gas" sebagai energi alternatif, Wamen banyak mendengarkan penjelasan dari Kepala Laboratorium Teknik Pembakaran dan Bahan Bakar di Jurusan Teknik Mesin FTI IT Prof Dr Ir H Djoko Sungkono M.Eng.Sc yang telah menelitinya sejak 2007, dan mulai memakainya pada tahun 2009.

Sebelum melakukan diskusi, Wamen ESDM sempat bertemu dengan Rektor ITS Prof Dr Ir Tri Yogi Yuwono DEA untuk meminta masukan-masukan tentang strategi mengantisipasi kelangkaan energi saat ini, termasuk dukungan riset-riset dari ITS.
(T.E011/C004)

Editor: Ruslan Burhani

Berita Terkait