ITS News

Kamis, 03 Oktober 2024
17 Juli 2013, 09:07

Pakar: Jembatan Selat Sunda Lebih Banyak Merugikan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

"Masih ada solusi lain untuk memperbaiki aksesibilitas antara Jawa dan Sumatera," kata Guru Besar Riset Operasi Teknik Kelautan ITS, Prof Dr Daniel M Rosyid, di Gedung LPPM ITS Surabaya, Rabu.

Dalam diskusi pakar di kampus teknik itu, Daniel M Rosyid menyebut kerugian pertama bukan hanya soal dana yang cukup besar atau sekitar Rp200 triliun, namun struktur ruang Indonesia akan berubah.

"JSS akan membuat posisi Selat Sunda menjadi semakin penting, sehingga koridor bebas internasional di Indonesia justru akan meluas, karena alur laut timur dan barat akan dibuka yang mengakibatkan kapal-kapal asing akan dengan mudah masuk Indonesia," katanya.

Kerugian berikutnya, kesenjangan ekonomi regional antara ke dua wilayah yang terhubung, Banten dan Lampung, juga menjadi permasalahan.

"Meskipun salah satu rencana JSS dibangun adalah untuk mengembangkan industri di wilayah tersebut, namun hanya akan ada satu wilayah yang berkembang dan yang lainnya akan menyusut, sehingga kesenjangan hampir pasti akan semakin signifikan," tegasnya.

Buktinya, Jembatan Suramadu hanya membuat Surabaya di kawasan utara semakin berkembang, sedangkan Madura tidak ada perubahan signifikan.

Kerugian lainnya, isu konsesi lahan yang diminta oleh investor JSS akan mendorong adanya alih kepemilikan lahan sekitar proyek tersebut.

"Investor asing tidak hanya meminta bagian dari hasil tarif jembatan, namun investor juga akan meminta konsesi lahan untuk pengembalian modal, sehingga industri asing akan semakin menguasai," katanya.

Dosen Jurusan Teknik Kelautan ITS itu menyimpulkan berbagai kerugian itu tidak akan menjawab permasalahan transportasi dan logistik, namun proyek akan lebih difokuskan pada keberadaan fisik jembatan penyeberangan.

Apalagi, katanya, urgensi pembangunan JSS ini untuk saat ini belum terlalu besar, karena hal paling mendesak justru pembenahan infrastruktur di masing-masing pulau.

"Perlu ada konsolidasi pasar dan pengembangan pelabuhan yang ada di setiap pulau, sehingga tidak hanya moda jalan saja yang diutamakan, tapi juga moda laut," katanya.

Alasan utama JSS terkait tidak lancarnya alur transportasi laut di Selat Sunda karena sering terjadi "bottleneck" di wilayah tersebut, tidak tepat, karena seharusnya perlu transportasi massal jalur laut.

"Dari segi kuantitas, kapal feri kurang, kondisi dermaga pun kurang terawat akibat tidak dilakukan pengerukan, sehingga kemampuan dermaga menampung kapal semakin kecil," paparnya.

Permasalahan tersebut seharusnya dapat diatasi dengan penambahan jumlah kapal ferry yang beroperasi di sana. Juga memperbaiki kondisi dermaga-dermaga yang ada.

"Kalau ada 40 kapal ferry alternatif akan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di Selat Sunda. Dengan kapasitas muatan lebih besar dan harga sekitar 250 miliar setiap buahnya, solusi tersebut dirasa lebih aman dan terjangkau. Selain simple juga tepat sasaran," katanya.

Senada dengan Daniel, Dr Amien Widodo juga mengutarakan pandangan dari aspek geologi bahwa risiko rusak jembatan sangat besar.

"Hal tersebut antara lain disebabkan oleh risiko gempa dan tsunami yang terjadi di wilayah tersebut," kata Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim LPPM ITS itu.

Berdasarkan data yang ada, gempa terbesar yang terakhir kali terjadi di Selat Sunda berkekuatan 8.9 SR. Untuk mengantisipasi hal tersebut, jembatan pun dipersiapkan gempa hingga kekuatan 9.0 SR.

"Namun, hal itu bukan jaminan, sebab pemeliharaan infrastruktur di Indonesia masih kurang, sehingga kekuatan JSS pun justru akan berkurang seiring berjalannya waktu," katanya. (*)

Editor : Tunggul Susilo

Berita Terkait