ITS News

Minggu, 28 Juli 2024
29 Februari 2016, 12:02

Kritik Terhadap Perilaku Pengendara di ITS

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kisah singkat di atas memang hanya karangan semata, namun cukup menggambarkan perilaku berkendara bagi kebanyakan orang di jalan. Tak terkecuali dalam lingkup kawasan ITS. Areal kampus seluas 180 hektar ini menuntut para sivitas akademikanya untuk lebih dari berjalan kaki dalam mobilisasi di kawasan ini.

Seperti biasa, kampus ini selalu ramai dengan lalu lalang sivitas akademikanya. Ada yang berjalan kaki, mengayuh sepeda, menaiki motor maupun membawa mobil. Di antara hiruk pikuk lalu lalang tersebut, entah disadari atau tidak, beberapa pelanggaran kerap kali terjadi. Terlebih lagi, beberapa pelanggaran bukan hanya beresiko bagi diri sendiri, melainkan juga membahayakan pengguna jalan yang lain.

Jalur Memutar Itu Ribet?
Disadari atau tidak, tata ruang jalan di ITS ternyata didesain memutar. Contoh ini terlihat pada jalan lingkar ITS dan jalan di seputar Masjid Manarul Ilmi. Jalan memutar memang menjengkelkan bagi sebagaian orang. Beberapa mengatakan membuat boros bensin. Ada lagi yang bilang terlalu banyak memakan waktu, jauh, serta tidak efisien.

Namun tahukah Anda bahwa desain jalan memutar seperti itu telah dibuat dengan berbagai pertimbangan. Meminimalisasi kemacetan serta kecelakaan adalah salah satunya. Namun seringkali kita melihat beberapa oknum justru mengabaikan desain ini dan memilih untuk melawan arus untuk berbagai alasan.

Lagi pula, apa salahnya jika mengikuti aturan yang telah dirancang. Dengan melawan arus lalu lintas, kita telah melakukan dosa kecil karena membahayakan pengguna jalan yang lain. Padahal menurut Dr Agus Zainal Arifin MKom, Dekan Fakultas Teknologi Informasi dalam sebuah kajian, dosa besar adalah akumulasi dari banyak dosa-dosa kecil yang dilakukan terus menerus. Maka dari itu, mari pikir ulang sebelum bertindak.

Bermain Handphone Sambil Menyetir
Hal yang satu ini lebih cenderung dilakukan oleh pengendara mobil dan pejalan kaki. Meski pengendara motor dan sepeda juga sesekali nampak turut serta. Terlihat sepele, namun fatal bila kita telisik lebih dalam.

Umpamakan sebuah mobil melaju santai dengan kecepatan 30 Km/Jam. Tiap detik ia memakan setidaknya 8,3 meter ruas jalan. Anggap saja pengendara mobil kehilangan 3 detik untuk untuk membuka chat dari temannya. Maka sepanjang 25 meter ke depan, dipastikan ia tidak menyadari apa yang ada di depannya.

Baik lah semisal yang ia tabrak adalah pohon atau pagar. Namun bagaimana bila ia menabrak seseorang. Bagaimana bila ternyata orang itu adalah satu-satunya tulang punggung di keluarganya. Tentu keberlanjutan hidup keluarganya di rumah menjadi pupus.

Namun sebenarnya kita berhak memilih untuk tidak merenggut semua itu. Hanya dengan sedikit bersabar untuk tidak menggunakan handphone saat berkendara. Hal yang sepele memang, namun analisis di atas menunjukkan bahwa ini lebih dari sekedar sepele.

Memakai Helm Hanya Klise
Tidak adanya sanksi mungkin adalah salah satu alasan mengapa para pengendara motor di kawasan ITS cenderung tidak mengenakan helm. Meremehkan fungsi helm. Memang benar bahwa menggunakan motor bukan berarti kita diharuskan mengalami kecelakaan, hingga memerlukan helm untuk meminimalisasi cedera.

Namun peluang untuk cedera selalu menyertai kita setiap kali berkendara. Memang tidak nampak, namun peluang itu tidak pernah nol. Siap menyerang secara tiba-tiba di kala kita lengah sedikit saja. Dan tahukah Anda bahwa harga kepala kita jauh lebih mahal dari pada sebutir helm?

Di jalan raya, orang-orang tertib memakai helm. Namun beberapa alasannya karena takut dengan sanksi dari kepolisian. Jangan sampai Satuan Keamanan Kampus (SKK) ITS harus bertindak layaknya polisi agar sivitas akademika dapat tertib memakai helm. Lagi pula, tidak dibenarkan pula untuk mengenakan helm karena takut sanksi. Mengenakan helm adalah bagian dari etika berkendara.

Hilangnya Budaya Toleh Kanan Kiri
Masih ingatkah Anda dengan masa kecil saat orang tua mengajarkan untuk menoleh ke kanan dan ke kiri saat menyeberang jalan? Kebiasaan sederhana itu sepertinya telah hilang pada masyarakat modern. Padahal budaya itu tidak hanya berguna saat menyeberang, melainkan juga saat berkendara.

Banyak kendaraan dari arah samping yang masuk ke lajur utama tanpa menoleh ke kanan terlebih dahulu. Spion seolah-olah telah menjadi pengganti budaya toleh kanan kiri. Bayangkan jika Anda masuk dari arah kiri menuju lajur utama tanpa menoleh ke kanan, padahal kendaraan di lajur utama sedang melaju kencang, Anda bisa tertabrak. Atau sebaliknya, Anda yang berada di lajur utama, dan melihat di depan Anda kendaraan masuk dengan tiba-tiba, Anda bisa oleng.

Azrul Ananda, CEO Jawa Pos dalam tulisannya akhir tahun silam mengungkapkan bahwa musibah itu terjadi jika kita sudah berupaya optimal menghindari masalah, tapi tetap terjadi masalah. Kalau kita tidak menoleh, tancap gas, lalu mengalami kecelakaan, mungkin namanya bukan musibah melainkan kebodohan.

Tim Redaksi ITS Online

Berita Terkait