ITS News

Senin, 25 November 2024
27 Juli 2018, 10:07

Pakar ITS: Gerhana Bulan Total Kali Ini Terlama

Oleh : itsmis | | Source : -

Ilustrasi gerhana bulan (Sumber gambar: NASA Scientific Visualization Studio).

Kampus ITS, ITS News – Sabtu, (28/7) dini hari nanti, seluruh belahan bumi Indonesia dapat menyaksikan gerhana bulan total dengan fase totalitas terlama sepanjang abad terakhir. Fenomena alam kali ini merupakan fenomena langka untuk masa hingga 100 tahun ke depan. Menanggapi hal tersebut, pakar fisika teori Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Dr rer nat Bintoro Anang Subagyo angkat bicara.

Pria yang akrab disapa Bintoro ini mengatakan, fase totalitas gerhana bulan kali ini akan berlangsung selama 103 menit. Diperkirakan, fase penumbra akan mulai terlihat pada 00.14 dini hari. Gerhana sebagian akan nampak sejak 01.24, sedangkan gerhana total mulai terlihat pada 02.30 dan akan berakhir setelah waktu salat subuh. “Gerhana ini sebenarnya akan berakhir pada 06.28, tetapi sudah tidak dapat diamati karena posisi bulan sudah tenggelam,” tutur Bintoro.

Berdasarkan siklus, gerhana bulan dengan fase totalitas terlama akan kembali terjadi pada 9 Juni 2123 dengan durasi 106 menit. Hal ini serupa dengan Super Blue Blood Moon pada Januari lalu, yang akan kembali terulang 100 tahun kemudian. “Ini merupakan kali kedua fenomena gerhana bulan langka yang mampu diamati di Indonesia,” ujarnya.

Ia menjelaskan, durasi waktu yang cukup panjang ini dikarenakan lintasan bulan pada saat itu hampir mendekati garis tengah lingkaran bayangan gelap (umbra) bumi, sehingga bulan akan berada dalam bayangan tersebut dalam waktu yang relatif lebih lama.

Fenomena aphelion, yaitu bumi berada pada titik terjauh dari matahari yang terjadi bulan Juli ini juga diduga menjadi penyebabnya. “Saat puncak gerhana itu berlangsung, jarak bumi-matahari lebih dekat sekitar 184 ribu km daripada saat aphelion, atau menjadi sejauh 151,8 juta km,” tutur pria berkacamata ini.

Layaknya gerhana bulan pada umumnya, ia mengatakan, gerhana dini hari nanti dapat disaksikan dengan mata telanjang. “Tidak perlu menggunakan kaca mata seperti saat gerhana matahari,” ucapnya. Dengan demikian, ia berharap, masyarakat di Indonesia, terutama di Surabaya tidak melewatkan fenomena alam langka ini.

Menurut Bintoro, meskipun Surabaya tidak termasuk dalam daftar 20 titik pantau yang diumumkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), cuaca di Surabaya saat ini cukup mendukung untuk melakukan pengamatan sendiri. Didukung peralatan yang tersedia, Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam Departemen Fisika ITS juga akan melakukan pengamatan di lantai empat gedung F Departemen Fisika ITS.

Ia menilai, alat yang dimiliki laboratoriumnya sudah cukup mumpuni untuk menghasilkan dokumentasi terbaik. “Saya harap dengan pengamatan yang nantinya dilakukan, ITS dapat memiliki video atau gambar atas fenomena sekali se-abad ini,” pungkas Bintoro. (nov/Humas ITS)

Dr rer nat Bintoro Anang Subagyo.

Berita Terkait