ITS News

Jumat, 27 September 2024
17 Maret 2005, 17:03

Kisah Sukarelawan ITS di Calang, Aceh Jaya, Tiap Hari Makan Granat dan Paku

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tidak terlihat kesan letih sedikit pun di wajah ke-37 mahasiswa ITS yang baru saja tiba dalam perjalanan dari Aceh. Mereka lebih banyak mengumbar senyum kepada setiap orang yang mereka temui, lebih-lebih kepada para orang tua, teman dan bahkan sang pacar. Rabu (16/3) petang, halaman Rektorat ITS memang lain dari biasanya, kali ini kursi lipat dijejer rapi memenuhi hampir sebagian parkir halaman depan gedung Rektorat, di bagian depannya dipasang layar lebar berukuran 5 x 7 meter. Pada layar itulah sesekali muncul wajah-wajah relawan yang mengundang gelak tawa hadirin.

“Kami sangat tersanjung dengan penerimaan seperti ini, sungguh kami tidak membayangkan sebelumnya akan disambut semeriah ini,” kata Ir Mudji Irmawan, selaku ketua rombongan yang didaulat memberikan sambutan. Dikatakannya, rombongan yang dipimpinnya semua kembali utuh dan selamat, ini berkat kerja sama yang sedemikian kuat satu dengan lainnya selama mereka dalam perjalanan dan berada di sana. “Pengalaman yang paling mengesankan adalah ketika kami berangkat dengan menggunakan KRI Teluk Saleh yang ternyata usianya jauh lebih tua dari para penumpangnya, yakni 60 tahun. Dapat dibayangkan kapal setua itu mengarungi lautan menuju Aceh. Tapi untungnya karena namanya Teluk Saleh, maka kapalnmya pun benar-benar saleh, diam ketika harus dihantam ombak,” kata Mudji, yang disambut tawa hadirin.

Suasana penyambutan sukarelawan ITS untuk Aceh ini memang penuh dengan canda dan tawa, seorang sukarelawan yang didaulat, Taufik Hidayat, misalnya, secara bergurau menanggapi sulitnya merelaisasikan program 1.000 rumah sumbangan dari Pemprop Jatim dengan kalimat yang tidak kalah lucunya. ”Program 1.000 rumah memang sangat baik, dan kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi mengingat kendala di lapangan yang begitu besar, maka kami belum bisa menyelesaikan program 1.000 rumah itu, tapi jangan khawatir Pak, kami telah berhasil membangun 1.000 umpak (pondasi dari batu untuk meletakkan tiang –Red) ,” kata Taufik, mahasiswa Teknik Fisika angkatan tahun 2002 ini.

Taufik kemudian menambahkan kisahnya, bahwa tidak salah jika ITS memilih Calang untuk bagian dari program merekonstruksi Aceh, dan hasilnya sangat nyata dan bisa dirasakan masyarakat di sana, serta yang tidak kalah hasilnya lagi adalah fakta kalau semua sukarelawan pulang dengan benar-benar celeng (hitam –Red). ”Karena itu kami mengartikan Calang dengan celeng atau hitam,” katanya.

Tidak mau kalah dengan mahasiswa, Rektor ITS Prof Dr Ir Mohammad Nuh DEA dalam sambutannya juga mencoba mengajak hadirin untuk tertawa. Betapa tidak, dalam mengomentari tambah hitamnya para sukarelawan, Nuh bergurau, tidak perlu khawatir dengan makin bertambah hitamnya mereka, karena itu sesungguhnya mencerminkan tingkat kematangan kepribadian. ”Hitam yang ada pada diri Anda adalah salah satu indikator tentang makin matangnya pribadi-pribadi Anda, dan jangan khawatir dalam waktu dekat akan kembali putih kembali,” kata rektor.

Mengomentari belum sepenuhnya program 1.000 rumah dapat direalisasikan, Nuh pun menanggapinya dengan berkelakar. ”Jangan khawatir, karena apa yang telah dikerjakan Anda semua pasti punya makna, karena tidak akan pernah mencapai angka seribu, jika Anda tidak memulainya dari angka 10, 20, atau 30, yang sekarang sudah Anda direalisasikan di sana,” katanya.

Nuh pun kemudian memompakan semangat kepada para sukarelawan, bahwa apa yang telah diperbuat mereka merupakan sesuatu yang punya makna besar dan amat mulia. ”Ini karena Anda telah memberikan sesuatu yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat di sana. Puncak dari kemuliaan itu adalah jika kita bisa memberikan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh seseorang, dan Anda telah memberikannya itu kepada masyarakat Aceh,” katanya.

Lain lagi dengan cerita yang diungkapkan Yanuar. Sukarelawan mahasiswa Biologi angkatan tahun 2001 ini mengungkapkan, meski penampilannya lebih hitam dari sebelumnya, ia yakin kalau semua teman-temannya masuk dalam kategori sehat, ini karena tiap hari kami selalu makan granat dan paku di sana. ”Ini hanya istilah yang populer di kalangan sukarelawan di Aceh. Untuk menyebut makan dengan lauk telor yang hanya digodok, mereka menyebutnya dengan istilah granat, sedang paku untuk lauk ikan teri di goreng tanpa bumbu,” katanya.

Itu sebabnya, Yanuar mengharap bagi para sukarelawan tidak perlu dilakukan timbang badan, karena dijamin semuanya pasti mengalami kelebihan berat badan. ”Meski kami hanya makan dengan granat dan paku, tapi porsinya selalu melebihi kebiasaan orang nornmal, maka jadilah kami semua mengalami kenaikan berat badan dari sebelumnya,” katanya.

Ada satu hal lagi, kata Yanuar menambahkan, yang bisa diperoleh selain dirinya telah terbuka mata, hati dan batinnya melihat kondisi di Aceh, yakni dijamin semua sukarelawan bisa masak, karena memang untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari, semuanya wajib secara bergantian terjun ke dapur.

”Sungguh kami telah mendapatkan banyak pelajaran dari sana, dan ternyata bukan hanya itu, nama ITS juga demikian di kenal oleh masyarakat Aceh. Buktinya, ketika kami sedang berjalan-jalan di kawasan Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, sehari menjelang pulang ke Surabaya, kami bertemua dengan orang di sana, dan ketika mereka bertanya asal kami, lalu dijawab ITS Surabaya, dengan spontan penduduk itu mengucapkan terima kasih tidak henti-hentinya dengan mata berkaca-kaca mengeluarkan air mata,” katanya.
Disitulah, kata Yanuar yang juga hampir mengeluarkan air mata saat menyampaikan ceritanya itu, hatinya hampir rontok semua, seolah tidak percaya dengan ucapan terima kasih yang didengar, dan mimik warga Aceh dengan mata yang berkaca-kaca itu. ”Sungguh kami tidak menyangka begitu besarnya apa yang telah ITS berikan bagi mereka. Ini terlihat begitu jelas dan tulus terlihat dari mimik dan wajahnya,” kata Yanuar mengakhiri kisahnya. (humas/bch)

Berita Terkait