ITS News

Minggu, 06 Oktober 2024
03 Oktober 2018, 22:10

Kupas Proyek KCIC Lewat CIVEX 2018

Oleh : itsmis | | Source : -

Dari Kiri, Tam Jianto ST MM (Deputy Project Director WIKA), Dwi Windarto, ST, MBA (Direktur KCIC), Hera Widyastuti M.T. Ph.D (Dosen Teknik Sipil ITS), Dr Ir. Danto Restyawan MT (Sekretaris Ditjen KA)

Kampus ITS, ITS News – Sejalan dengan pemenuhan program Nawacita, Indonesia melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran. Salah satunya ialah dengan membangun kereta cepat pertama di Asia Tenggara atau dikenal dengan proyek Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC). Ingin tahu lebih lanjut mengenai proyek ini, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengundang para ahli yang terlibat dalam pengadaan kereta cepat Indonesia-China melalui talk show Civil Expo (CIVEX) 2018 pada Sabtu (29/9).

Kegiatan ini mendatangkan tiga narasumber penting di ruang lingkup kereta cepat Indonesia-China, yaitu Dr Ir Danto Restyawan MT, sekretaris Direktorat Jenderal Perkeretaapian (Ditjen KA), Dwi Windarto ST MBA selaku Direktur TOD PT. Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), dan Tam Jianto ST MM yang menjabat di posisi Deputy Project Director HSR PT. Wijaya Karya Persero Tbk (WIKA).

“Di prediksi, kedepannya akan terjadi peningkatan yang sigifikan pada permintaan penumpang terhadap kereta api dan bandara. Oleh karenanya pengadaan kereta cepat merupakan solusi untuk mengurangi beban baik pada jalan maupun bandara,” tutur
Dr Ir Danto Restyawan MT memberi penjelasan urgensi kereta cepat.

Melanjutkan pemaparan Danto, Dwi Windarto menjelaskan pemilihan skema kerjasama dengan negara China. Di dunia kereta cepat terdapat dua raja, yaitu Jepang dan China. Jepang telah memulai proyek kereta cepat ini sejak tahun 1964. Sementara China walaupun dengan titik awal di tahun 2007 mampu bersaing dalam menguasai pasar kereta cepat dunia.

“Dalam proyek pembangunan kereta cepat, Indonesia memilih bekerjasama dengan China. Alasannya ialah skema kerja sama yang ditawarkan bersifat B to B. Tidak seperi Jepang yang menawarkan G to G” ucap alumnus Departemen Teknik Sipil tersebut.

Menurutnya, jika Indonesia bekerjasama dengan Jepang dengan skema G to G (Government to Government) yang melibatkan utang negara, maka akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Padahal dana APBN telah difokuskan untuk pembangunan luar Jawa,” tambahnya.

Berbeda dengan yang ditawarkan China yaitu skema business-to-business (B to B). Pada skema ini seluruh pendanaan berasal dari investor. Sehingga tidak akan menimbulkan isu kritis mengenai kucuran dana pemerintah.

Mempertimbangkan skema tersebut, akhirnya proyek KCIC pertama dimulai sejak Juni 2018 dan diharapkan rampung pada 2021. Proyek pertama KCIC ialah kereta cepat Jakarta – Bandung.

Proyek KCIC digarap dengan menggunakan 60% saham dimiliki oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan 40% saham oleh China Railway International (CRI). PSBI sendiri merupakan konsorsium 4 BUMN yaitu PT Kereta Api Indonesia (KAI), WIKA, dan PT Jasa Marga Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.

Dalam pengerjaan proyek KCIC, permasalahan krusial yang dihadapi ialah terkait pembebasan lahan. Oleh karenanya, pihak pengadaan kereta cepat menggandeng Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) untuk bertanggung jawab dalam pembebasan lahan untuk semua proyek di kementerian. “Kita akan membangun di lahan yang sudah jelas peruntukkannya ,” jelasnya tegas.

Di akhir, Dwi menjelaskan saat ini, pembebasan lahan untuk pengadaan kereta cepat Jakarta-Bandung sudah mencapai 73%. Selain itu dalam pengerjaan proyek KCIC, mutu akan menjadi fokusan utama para kontraktor. (ion 4/jel)

Dari kiri Hera Widyastuti M.T. Ph.D bersama pemateri Dwi Windarto, ST, MBA, Dr Ir. Danto Restyawan MT, dan Tam Jianto ST MM

Berita Terkait