ITS News

Jumat, 27 September 2024
03 Mei 2005, 15:05

Bangunan, Memori Masa Lalu Peradaban

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kota dengan bangunan-bangunan tua merupakan kota yang cantik dan unik. Demikian ungkap Patricia H Gay, salah seorang kaum konservasionif dalam Guest Presentation Problema Konservasi Arsitektur di New Orleans dan Surabaya dalam Perspektif Sosial Hukum dan Arsitektur, Selasa (3/5) kemarin. Menurutnya, arsitektur dari bangunan itu-lah yang menjadikan kota tersebut berbeda dengan kota lain.

Menurut wanita yang telah berpuluh-puluh tahun aktif sebagai sukarelawan dalam konservasi ini, Surabaya termasuk sebuah kota yang punya potensi untuk dikembangkan ditilik dari keberadaan bangunan-bangunan tua di kota pahlawan ini. Keberadaan dari bangunan-bangunan itu, jika dirawat dengan baik, mampu menarik minat wisata sejarah. ”Jika kita tidak punya bangunan tua, kita tidak punya memori,” ujarnya melalui penerjemah di hadapan puluhan peserta acara ini.

Wanita berkebangsaan Amerika ini lalu membandingkan Surabaya dengan New Orleans. New Orleans yang kini menjadi salah satu kota terbaik di Amerika Serikat untuk pariwisata, ternyata mengandalkan arsitektur dari gedung-gedung tua yang tetap dirawat dan dilestarikan. Jika New Orleans mampu berjaya, mengapa Surabaya tidak. Namun, ia mengakui banyak hambatan dan tantangan dalam upaya konservasi ini.

Hal ini diakui oleh Ir Andi M. Hal tersulit untuk memulai konservasi adalah menyakinkan pemilik bangunan. “Kita harus membangun image bangunan lama itu patut dipertahankan,” terang pria yang aktif dalam gerakan konservasi ini. Dengan demikian, pemilik mau merawat dan memelihara bangunan-bangunan tua itu serta mampu membangkitkan potensi ekonomi yang dimiliki.

Untuk memelihara bangunan di lokasi konservasi, ada beberapa cara. Pertama dengan menyesuaikan bentuk bangunan baru sesuai dengan bangunan lama yang telah ditetapkan sebagai panduan. Selain itu, bangunan baru dapat dibangun dengan mempertahankan data-data sekunder tanpa membuang ciri bangunan lama. “Contohnya Toko Nam,” terang Andi.

Yang terakhir dengan cara mengadopsi. Gaya adopsi ini dapat kita lihat pada candi batas provinsi di daerah Ngawi dan Tuban yang mengadopsi Candi Penataran dengan modifikasi-modifikasi tertentu. “Namun cara ini masih dipertanyakan kebenarannya dalam hal konservasinya,” terang Andi. Namun, apapun caranya, kita patut menghargai kerja keras kaum ‘konservasionis’ dalam melestarikan bangunan-bangunan tua bersejarah. (rin/tov)

Berita Terkait