ITS News

Minggu, 29 September 2024
10 Agustus 2005, 09:08

Ketika Malaysia Inginkan Nobel

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Diam-diam negeri jiran Malaysia, telah menyiapkan seperangkat lembaga untuk warganya, agar bisa memenangkan Hadiah Nobel di bidang ilmu pengetahuan. Ini terungkap dari pernyataan Prof Dr Halimaton Hamdan FASc, yang diundang jurusan kimia ITS dalam acara Seminar Nasional Kimia VII (Senaki) di Kampus ITS, Selasa (9/8) kemarin.

Diungkapkan Halimah, pemerintah Malaysia sejak dua tahun terakhir ini telah menyiapkan berbagai usaha untuk mengantarkan warganya bisa meraih Nobel di bidang ilmu pengetahuan. “Saya salah satunya disiapkan untuk mengelola sebuah lembaga, Ibnu Sina Institute for Fundamental Science Studies, sebuah lembaga yang memang diperuntukkan bagi generasi muda untuk mendalami ilmu-ilmu murni atau fundamental,” katanya.

Pendirian itu, kata guru besar perempuan pertama di Universiti Teknologi Malaysia, Johor, merupakan keinginan dari pemerintah agar minimal sepuluh tahun lagi, ada warga malaysia yang berhak diusulkan untuk memenangkan Hadiah Nobel. “Selama ini kami memang begitu tertarik dengan teknologi dan terapannya, tapi kami juga tidak terlena, karena kemudian sadar ke depan ilmu-ilmu dasar atau fundamental begitu penting untuk dikuasai,” katanya.

Itu sebabnya, kini pemerintah Malaysia sedang giat-giatnya memacu warganya untuk tidak hanya puas dalam pendidikan sarjana atau master, tapi didorong hingga mencapai gelar doktor. “Beberapa anak muda di Malaysia yang memang punya minat untuk mencapai gelar doktor kini dibiayai pemerintah, terutama pada bidang-bidang fundamental science. Kini tidak hanya mereka yang berada di perguruan tinggi diarahkan untuk itu, tapi juga sudah mulai dilakukan penelusuran sejak di bangku sekolah. Mereka yang berminat diberikan insentif,” kata perempuan yang memperoleh jabatan guru besar di usia 40 tahun ini.

Hasilnya cukup lumayan, Malaysia kini telah memiliki ilmuwan tujuh per sepuluh ribu penduduk. “Jumlah ini memang masih sangat kecil, tapi dalam waktu sepuluh tahun lagi diharapkan perbandingannya akan makin baik, karena kini dibeberapa perguruan tinggi terkenal sudah disiapkan lembaga-lembaganya,” katanya.

Ditanya perlakuan masyarakat atau lembaga antara mereka yang mendalami bidang teknologi terapan dengan ilmu-ilmu murni, wanita kelahiran Malaka, 12 Agustus 1956 ini mengatakan, di negerinya, orang tidak dibedakan atas latar belakang ilmu yang dimiliki, tapi dibedakan atas tingkat pendidikan yang diperolehnya.

“Jadi tidak ada perbedaan gaji karena seseorang mendalami ilmu tertentu dengan ilmu-ilmu murni atau fundamental. Klasifikasinya berdasarkan atas tingkat pendidikan, sarjana, master atau doktor. Dimasyarakat pun demikian. Bahkan, mereka yang berprofesi sebagai guru atau dosen diberikan insentif lebih besar dibanding pekerja lain meski tingkat pendidikannya sama,” katanya.

Berbicara tentang bidang ilmu yang diperdalam Halimah, zeolit, ia mengatakan, meski di negerinya zeolit alam tidak ada, tapi bukan berarti ia tidak boleh menguasai dan memperdalam ilmu itu, karena sesungguhnya zeolit bisa pula dilakukan sintesa. “Itu yang kami lakukan, di Malaysia pemakaian zeolit sintesis banyak digunakan untuk diterjen, katalis dalam pemrosesan minyak bumi dan lain-lain. “Karena itu kami menyayangkan jika di Indonesia yang begitu banyak mengandung zeolit alam kemudian tidak dikembangkan. Potensi ini harusnya jauh lebih berkembang di Indonesia,” katanya. (Humas/rin)

Berita Terkait