Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman, yang juga dramawan, sutradara teater, dan marxis pernah mengatakan:
“Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Orang yang buta bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri.”
Momen bersejarah demokrasi Indonesia sudah semakin dekat. Untuk pertama kalinya, pemilihan presiden dan pemilu legislatif akan diadakan serentak. Namun, momen yang seharusnya menjadi sukacita akan perubahan yang lebih baik lagi ini ternyata tidak disambut baik oleh beberapa pihak dari kaum golongan putih yang kebanyakan anak muda.
Lima juta lebih mahasiswa dengan berbagai fokus bidang yang berbeda saat ini dipaksa oleh sistem ataupun passion-nya untuk memenuhi kebutuhan peradaban. Sementara menurut riset, untuk mencapai kondisi ideal, Indonesia membutuhkan seratus ribu dokter umum, 6000 dokter spesialis, 2,7 juta teknisi, 600 aktuaris, dan masih banyak lagi sektor yang harus dipenuhi oleh para mahasiswa. Tak ayal, pikiran untuk menjadi spesialis pun muncul, dimana mahasiswa berpikir bahwa apa yang perlu dilakukannya hanyalah menggeluti fokus bidangnya saja.
Sikap pasif kaum golongan putih ini bukan sepenuhnya salah mereka. Ada banyak tagar-tagar #2019gantipresiden dan #2019duaperiode yang muncul bersamaan dengan hoax dan black campaign yang membuat pesta demokrasi jauh dari diksi ‘pesta’. Apalagi muncul perdebatan panas tak sehat antara cebong dan kampret yang menyebabkan fenomena migrasi rakyat twitter ke instagram yang notabene lebih apolitis. Paparan informasi negatif dan berita bohong yang sudah hampir tak bisa disaring lagi ini menyebabkan anak muda kehilangan gairah untuk menentukan siapa pemimpin negara dan pembuat kebijakan di periode selanjutnya. Tak perlu jauh-jauh, kita bisa lihat contohnya di kampus ITS sendiri.
Hidup Dengan Produk Politik
Tak perlu jauh-jauh untuk melihat euforia politik negeri ini, lihat lah kampus ITS sendiri. Dari banyaknya mahasiswa dari daerah luar Jawa Timur, pasti tidak sulit menemukan teman yang tidak ikut memilih pada 17 April nanti karena tidak mengurus perpindahan surat A5. Padahal ITS melalui BEM telah memfasilitasi mahasiswa untuk pindah lokasi pencoblosan.
Ada yang bilang karena ini kampus teknik, terlalu sibuk dengan tugas besar dan laporan praktikum katanya. Katanya, anak engineer itu tidak suka hal yang ribet. Dia suka hal yang sudah ada rumusnya dan pasti, bukan seperti pembicaraan politik yang tak ada habisnya. Gara-gara karakteristik inilah, banyak diantara teman-teman kita yang memilih untuk golput, ataupun bersikap apatis terhadap pesta demokrasi yang akan datang di 17 April mendatang.
“Milih ga milih ya apa pengaruhnya buat aku? Toh, engineer kerjanya juga ga ada hubungan dengan politik”, kata mahasiswa itu.
Dari segi sosial, golput bisa saja terjadi sebagai fenomena. Namun, bagaimanapun kecewanya kita terhadap realitas politik yang ada, golput bukanlah pilihan yang bijak dan solutif. Apalagi jika alasannya hanya karena tidak suka dan tidak merasa perlu dengan kegiatan politik. Persoalannya, banyak anak muda yang sudah terlanjur skeptis melihat politik identik dengan materi yang rumit dan menganggap tidak ada kaitannya dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Politik seolah-olah merupakan suatu materi yang dibatasi untuk kalangan tertentu, seperti halnya tanda ‘18+’merupakan ungkapan eksklusif untuk kalangan 18 tahun keatas. Padahal, politik bukan hanya milik birokrat atau politisi. Bukan pula milik Presiden atau kepala daerah. Politik adalah kita semua yang berada dalam suatu negara. Mau tidak mau, kita menjadi praktisi di dalamnya baik sebagai pengamat maupun sebagai pelaku.
Coba buka mata mu, lihatlah betapa sebenarnya kita semua ini pada hakikatnya adalah pelaku politik, baik saintis yang sibuk di laboratorium maupun teknisi yang sibuk merancang bangunan sekalipun. Jika kehidupan sebagai teknisi misalnya, tidak sejahtera, temuan tidak dihargai, kompetensi tidak ter-standardisasi, dan lainnya, apa lagi yang bisa mengubahnya kalau bukan politik?
Aktivis kebangsaan, Aliza Gunado pernah menyatakan ada banyak hal dalam kehidupan sehari-hari sebetulnya sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik. Politik mempengaruhi keseharian kita melalui kebijakan politik yang menyentuh tiga ranah sekaligus, yakni personal, rumah tangga, dan ruang publik.
Dalam ranah personal, kebijakan politik datang mengatur hak-hak kita sebagai warga negara, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, kebebasan berekspresi, dan lain sebagainya. Di ranah rumah tangga, politik hadir dalam kebijakan yang menentukan harga sembako, tarif listrik, harga gas elpiji, sewa rumah, biaya pendidikan anak, hingga besaran upah atau gaji yang diterima oleh suami/istri yang bekerja. Sementara di ruang publik, kebijakan politik hadir dalam aturan mengenai parkir, aturan berkumpul di ruang publik, dan penggunaan fasilitas publik.
Bahkan, berpartisipasi dalam memperbaiki kehidupan warga di lingkungan kita juga sebetulnya sudah dikatakan berpolitik. Jadi, hampir semua aspek dan ruang hidup kita ternyata dipengaruhi oleh politik, entah disadari atau tidak.
Undang-Undang, Kawan atau Lawan
Salah satu produk politik yang akan sangat mempengaruhi masa depan lulusan mahasiswa teknik adalah Undang-Undang. Peraturan yang diciptakan oleh seperangkat legislatif yang terlebih dahulu telah dipilih pada pemilu serentak ini seperti bermain judi. Jika kita memilih orang yang benar dan berkapabilitas maka luaran kebijakan yang dihasilkan akan baik, begitu pula sebaliknya. Sebab, setiap pemimpin nantinya akan memiliki perbedaan fokusan pengembangan.
Misalkan saja, pada era Soekarno, ia lebih fokus pada penataan struktur pemerintahan dan kebijakan baru. Melanjutkan karya Sang Proklamator, Soeharto membuat iklim ekonomi Indonesia memiliki sasaran memajukan pertanian dan industri. Pada zaman habibie, Indonesia dikenal gencar berusaha keluar dari keterpurukan ekonomi dengan mengeluarkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter. Pada zaman Megawati, Indonesia lebih fokus pada perbaikan sistem perbankan. Di era Gus Dur, kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah serta pajak dan retribusi daerah muncul.
Lain halnya pada masa SBY saat subsidi energi menjadi prioritas yang besar, dimana kebijakan ini menjaga daya beli masyarakat. Selain subsidi energi, salah satu alokasi anggaran terbesar melebihi subsidi energi itu adalah sektor pendidikan dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara di era Jokowi para teknisi, ahli sipil, arsitek, dan perencanaan serta usahawan sangat diuntungkan oleh kebijakan pembangunan infrastruktur dan investasi besar-besaran.
Profesor Vs Orang Gila
Pericles, negarawan terkenal Yunani, secara tegas mengingatkan:
“Kendati Anda tidak mengambil minat dalam politik, bukan berarti politik tidak akan menaruh minat pada Anda.”
Ada banyak sekali pihak yang ingin diuntungkan dengan proses pemilihan ini, sebab ada banyak kepentingan di dalamnya. Namun masalahnya, dengan sistem demokrasi seluruh suara akan sama nilainya, sehingga bagaimana pun seseorang pasti diminati oleh politik, se-acuh apapun ia terhadap politik itu sendiri.
Ibaratnya, orang-orang yang haus akan tahta itu akan menyebarkan ideologi, janji, dan kapabilitas palsu kepada 20.000 orang gila. Di lokasi yang sama, ada 20.000 professor pintar yang tahu dan cerdas, namun diam saja sebab ‘sibuk’ dan ‘tidak minat’ dengan pemilihan itu. Dalam eksekusi pemilu nantinya, pada akhirnya meskipun dengan kecerdasan yang superior, yang menang adalah kumpulan orang gila dengan pemimpin licik. Sang professor tahu, namun kecerdasan dan ke-tahu-annya tidak berguna. Sebab, yang dihitung adalah jumlah suara.
Konsekuensi dari terpilihnya salah satu dari pada kedua calon presiden, anggota DPR RI, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota nanti, akan menentukan setidaknya baik/buruknya bidang profesimu di masa yang akan datang. Sebab, engineer tidak bisa berjalan sendiri. Ia pasti, mau tidak mau akan dipengaruhi oleh kebijakan yang akan dihasilkan.
Beban Mahasiswa Hari Ini, Hanya Tugas Kuliah?
Sedari dulu, mahasiswa selalu dielu-elukan sebagai subjek terpercaya dalam mengawal kebijakan pemerintah. Hal ini lantaran kalangan ini dianggap sebagai kaum intelek yang berada pada posisi netral. Benarkah?
Tanpa bermaksud mengeneralisir dan menyalahi takdir, kondisi ini tidak salah jika mahasiswa dikatakan mampu melihat serta mengkritisi keadaan pemerintah. Tak hanya otaknya yang diklaim terlatih mengkaji persoalan, mahasiswa berada dibawah institusi legal sehingga track untuk mencapai meja pemerintah lebih dekat. Apalagi, para pengajar di area kampus adalah mereka yang sering bersinggungan langsung dengan pemerintah.
Ditambah lagi, pemikiran kritis mahasiswa dianggap mampu meng kebijakan-kebijakan pemerintah. Maka posisi mahasiswa menjadi sangat strategis untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam berpolitik karena menjadi pengawal kebijakan dan penyambung lidah rakyat.
Mirisnya, mahasiswa dibenturkan oleh permasalahan ”kuliah saya saja sudah susah, tambah susah mikirin politik”. Niat berkontribusi untuk bangsa tapi menunda sampai nanti saja kalau sudah sukses, lantas sekarang fokus kuliah tanpa peduli apa yang terjadi dengan bangsanya. Padahal semua yang kita hadapi adalah menyangkut politik, bahkan pendidikan yang kita nikmati sekalipun.
Kondisi lingkungan Indonesia pasca reformasi pun menghadirkan kenyamanan tersendiri. Tidak ada gejolak nyata ataupun common enemy, sehingga tampak seperti semuanya tidak ada yang salah. Lupa melihat masih ada rakyat yang susah, sehingga label mahasiswa sekarang cenderung elitis dan kurang merakyat menjadi sukar untuk dielakkan. Katanya penyambung lidah rakyat?
Ayo, Suarakan!
Saat ini, kurang lebih ada jumlah mahasiswa Indonesia kurang lebih sekitar 7,5 juta atau 2,8 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Angka ini setara dengan 3,9 persen dari jumlah pemilih pemilu 2019, yakni 192 juta.
Sekitar 192 juta pemilih akan memilih presiden dan wakil presiden, 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPRD provinsi, dan 17.610 anggota DPRD kabupaten/kota. Para calon legislator itu berasal dari 16 partai nasional ditambah 4 partai lokal yang khusus berkompetisi di Aceh. Jika kamu tidak menyukai kata politik dan setidaknya pilihlah mereka yang akan menguntungkan dirimu, keluargamu, dan khususnya profesimu.
Memang, kita tidak bisa menilai segala aspek mengenai para calon, terkhusus di bidang yang bukan keahlian kita. Oleh karenanya, tidak ada salahnya bagi kita untuk mengkaji hanya di bidang keahlian masing-masing. Karena seiring bertambahnya usia, kita tidak bisa idealis, melainkan realistis. Misalkan saja, anak elektro yang fokus pada wacana kebijakan energy listrik, anak FTK yang mengkritisi dan melihat problem kemaritiman Indonesia, dan bidang lainnya.
Kita lahir dengan politik, hidup bersama politik. Kita adalah politik itu sendiri. Tak bisa dihindari. Maka, tak perlu alasan lagi. Ayo bersuara melalui lembaran kertas pada 17 April 2019 mendatang
Tim Redaksi ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2024, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bersama Pengurus Wilayah
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kompleksitas pasar kerja nasional, Institut Teknologi Sepuluh
Kampus ITS, ITS News — Tim Sapuangin dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali mengenalkan mobil urban edisi terbarunya
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali dipercaya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu