ITS News

Minggu, 29 September 2024
23 Februari 2006, 19:02

Alisjahbana : Demi Data Akurat, Menyamar Jadi PKL

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Uniknya, kedua buah karya Dr Ir Alisjahbana MA itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan saat Ali meraih gelar doktor bidang ilmu sosial Pasca sarjana Unair. "Sebenarnya buku yang saya buat ini, merupakan potong-potongan dari disertasi saya. Tentunya buku ini telah disempurnakan agar mudah dipahami," ucap mantan Sekkota Surabaya ini.

Dikisahkan dosen pascasarjana FTSP ITS ini, banyak hal yang dia dapatkan selama melakukan penelitian terkait PKL. Lewat penelitian yang mendasari disertasinya tahun 2004 itu, ia rela terjun ke lapangan, menyamar jadi PKL demi mengetahui langsung keluh kesah yang dialami para PKL. ”Semua itu demi mendapatkan data yang valid,” tukasnya. Saat itu Ali, mendatangi empat kawasan Surabaya yang menjadi pusat PKL seperti, Jalan Tunjungan, Embong Malang, A Yani, dan Praban.

"Saat tengah hari, Ada seorang ibu PKL penjual Lontong Balap sedang melayani salah satu pelanggannya. Namun tiba-tiba Satpol PP datang bertugas menertibkan (menggusur-red) PKL di Surabaya. Di satu sisi, sang Ibu ingin tidak mengganggu pelanggannya yang sedang makan siang, tetapi di sisi lain dia juga ingin segera pergi menyelamatkan gerobaknya," ungkapnya mengawali kisahnya.

Singkat cerita, akhirnya Ibu penjual Lontong balap itu tidak sempat kabur. Dia tidak bisa melawan lima lelaki yang jauh lebih muda dan kuat. Ibu PKL itu hanya bisa berteriak histeris. "Jangan angkut, jangan angkut gerobak saya. saya mau pergi," kata Ali sambil berusaha meniru ucapan Ibu tadi. Kemudian, lanjut Ali, Gerobak lontong balap pun tetap diangkut ke truk. "Tambahlah seorang wanita penganggur di Surabaya karena Ibu tersebut tidak bisa berkarya lagi memasak lontong balap," komentarnya.

Dalam bukunya yang berjudul Sisi Gelap Perkembangan Kota, Ali memulai pembahasan dari hubungan sektor informal dalam tata ekonomi. Selain itu dijelaskan juga mengapa mereka merasa termarginalisasi sehingga muncul model-model perlawanan para pedagang informal. Dikatakannya, sebenarnya proses perlawanan PKL disebabkan penumpukan memori historis seperti kebijakan yang tidak memihak PKL, tudingan negatif, serta terbungkamnya suara mereka. ”Dengan inilah mucul kesadaran kolektif berupa perlawanan tanpa mengenal menyerah,” ujarnya.

Sedangkan, buku yang keduanya lebih menyampaikan fakta tentang PKL di Surabaya termasuk dampak yang terjadi bagi semua elemen jika terjadi penataan. ”Bagi PKL, penataan bisa meresahkan, mengurangi pendapatan PKL, hilang pekerjaan, atau malah jadi kebal dengan obrakan. Lain dengan birokrat, penataan berarti terciptanya suasana tertib meskipun hanya beberapa waktu atau kemungkinan paling jeleknya memicu terjadinya perlawanan PKL,” katanya.

Selain itu ditambahkan Ali, dengan penataan PKL ini, dalam masyarakat juga akan terjadi dilema. Disatu sisi masyarakat tidak lagi terganggu oleh aktivitas PKL. Namun di sisi lain, masyarakat semakin jauh dengan barang kebutuhan sehari-hari yang murah.(mac/asa)

Berita Terkait