ITS News

Jumat, 27 September 2024
25 Februari 2020, 14:02

Peneliti ITS Temukan Dampak Perubahan Arsitektur Sentani

Oleh : itsram | | Source : -

Dr Deasy Widyastomo ST MT menyampaikan disertasinya pada Selasa (18/7) di Ruang Sidang Djelantik Departemen Arsitektur ITS

Kampus ITS, ITS News – Perubahan perilaku masyarakat adat Sentani Papua berimplikasi pada perubahan unsur tata ruangan. Dengan mengambil lokasi penelitian di Kampung Ayapo dan Kampung Kehiran, Dr Deasy Widyastomo ST MT menemukan komponen-komponen arsitektural yang berubah dan bertahan akibat pergeseran mata pencaharian masyarakat.

 Deasy Widyastomo ini menyebutkan, kebutuhan dan keinginan manusia berubah secara dinamis mengikuti perkembangan zaman. Masyarakat yang hidup pada era kuno kebutuhan dan keinginannya berbeda dengan masyarakat di era disrupsi, hal ini sama seperti masyarakat Sentani Papua. Awalnya masyarakat ini mengkonsumsi sagu dan tangkapan laut, namun mereka ingin berubah untuk mengkonsumsi hasil pertanian seperti sayur-mayur.

Dikatakan oleh lelaki yang akrab disapa Tomo ini, dari perubahan kebutuhan dan keinginan tersebut, lambat laun masyarakat adat Sentani mulai beralih profesi dari nelayan menjadi petani. “Hal ini pun juga berimplikasi pada perubahan pola pemukiman dan bentuk rumah,” jelas pria yang mengambil gelar magister di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Dalam penelitiannya, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Cenderawasih ini melakukan komparasi pola pemukiman dan bentuk rumah tradisional masyarakat nelayan Sentani pada 1903 dengan yang pemukiman nelayan yang masih bertahan hingga saat ini. “Selain itu juga kami membandingkan pola pemukiman dan bentuk rumah tradisional nelayan menjadi petani di masa sekarang,” lanjutnya.

Pria kelahiran Sentani ini menjelaskan, dahulunya pemukiman dan rumah tradisional nelayan pada 1903 berpola mengelompok membentuk barisan di atas air tempat mereka mencari bahan makanan (hasil laut, red). Barisan yang dibentuk tersebut memiliki urutan dari depan yakni rumah adat, rumah kepala suku, rumah masyarakat, dan disusul dengan  daratan yang menjadi ruang publik. “Formasi ini mencerminkan pola permukiman yang bersifat pertahanan dari intervensi daerah luar,” tegasnya.

Dr Deasy Wisyastomo ST MT berhasil mendapatkan gelar doktornya dengan predikat memuaskan

Sedangkan pada penampakan bentuk rumah, bentuk rumah tahun 1903 berbentuk panggung segitiga beratap pohon sagu dan daun palem yang berbentuk pelana. Di dalam rumah ini semua kegiatan dilakukan dalam satu ruang yang tidak memiliki batas fisik yang memisahkan antar kegiatan, hanya batas imajiner. “Uniknya, pintu masuk ke dalam rumah ini terletak pada kolong rumah, sehingga penghuni masuk melalui bawah rumah sekaligus meletakkan perahunya di kolong rumah,” tegasnya.

Lelaki yang menekuni bidang arsitektur dari program sarjana hingga doktoral ini menemukan bahwa antara satu rumah dengan lainnya dibangun secara bertautan. Hal ini merefleksikan kekuatan yang dibentuk dari komunitas adat Sentani untuk melindungi keselamatan anggota suku. “Dari sini kita juga bisa melihat permukiman berpola pertahanan yang diterapkan pada masyarakat nelayan tahun 1903,” tutur Tomo.

Seiring berjalannya waktu, lanjut Tomo masyarakat nelayan yang awalnya bermukim di atas air, sebagian masyarakat berubah menjadi di atas tanah. Pola pemukimannya pun masih sama yaitu berpola pertahanan dengan urutan dari bagian terluar yaitu rumah adat, rumah kepala suku, rumah masyarakat, dan pusat kegiatan yang berada pada sisi dalam yang ditutupi oleh perumahan. 

Tomo mengemukakan, kendati masih berbentuk rumah panggung, bentuk rumah masyarakat nelayan kini memiliki batas fisik di dalam ruangannya. Mulai muncul dinding pembatas, gorden, jendela, dan pintu pada perumahan masyarakat nelayan saat ini. “Hal ini merupakan akibat dari perubahan relasi sosial masyarakat yang menjadi lebih individualistik,” terang Tomo.

Bagian akhir dari penelitian Tomo adalah perbandingan pola pemukiman dan bentuk rumah adat masyarakat nelayan dengan petani di Sentani. Perbedaan mencolok terletak pada bentuk rumah yang tidak berbentuk panggung akibat aktivitas masyarakat petani dengan lahan olahan yang seluruhnya ada di daratan dan membentuk kisi-kisi atau grid. “Jauh berbeda dengan pola pemukiman nelayan yang linier mengikuti garis pesisir,” katanya.

Penelitian Tomo pada akhirnya menemukan hasil bahwa perubahan masyarakat nelayan menjadi petani merupakan bagian dari perubahan budaya Sentani. Perubahan ini terjadi bersama-sama dengan perubahan arsitektur dari nelayan menjadi arsitektur petani. “Temuan ini memperkuat teori-teori arsitektur yang sudah ada, salah satunya Teori Bourdieu yang menjelaskan bahwa habitus berhubungan erat pada empat sumber daya, yakni modal ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik,” jelas Tomo.

Aktivitas ekonomi dari nelayan menjadi petani, budaya masyarakat yang mempercayai hal gaib dan roh leluhur menjadi kepercayaan pada Tuhan, karakteristik sosial yang awalnya kolektif menjadi individualistis mengubah bentuk-bentuk arsitektur yang kemudian dibahasakan melalui simbol-simbol berupa perkembangan bentuk pemukiman dan rumah. 

Tomo menyampaikan, pendekatan yang ditemukannya ini dapat diadopsi dan diterapkan untuk mengembangkan Sentani menjadi destinasi wisata yang menawarkan keberagaman adat tradisional Sentani. Berkat penelitiannya ini, Tomo berhasil meraih gelar doktor arsitekturnya dengan predikat memuaskan pada Selasa (18/2) lalu. (ram/qin)

Promovenda bersama para penguji sidang terbuka doktoral

Berita Terkait