ITS News

Kamis, 25 Juli 2024
03 April 2020, 08:04

Seven Deadly Sins, Tantangan Generasi Muda Indonesia di Era Digital

Oleh : itsrur | | Source : ITS Online

Ilustrasi era digital. (sumber: shutterstock.com)

Kampus ITS, Opini Meski kerap dicitrakan sebagai era yang menawarkan sejuta kemudahan, era digital juga memiliki potensi ancaman yang tak bisa diremehkan. Oleh karenanya, sebagai generasi yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negeri ini, generasi muda indonesia seharusnya lebih bijak dalam menyikapi dampak-dampak yang bisa ditimbulkan oleh era ini.

Jika ditanya sudah siapkah generasi muda Indonesia untuk terjun di era ini, tentunya tidak ada lagi kata tidak siap. Mau bagaimana lagi? Musuh sudah berada di depan mata, tidak ada waktu lagi untuk berdiam diri. Untuk itu, sebagai bekal generasi muda untuk menghadapi era ini, kedewasaan untuk mengontrol dan mengatasi segala ancaman serta sisi gelapnya harus dimiliki.

Berbicara soal generasi muda Indonesia, menurut saya sebagian besar dari mereka masih terlalu naif untuk memahami makna kebijakan berperilaku di era digital. Ketidakdewasaan generasi muda saat ini sudah memasuki fase yang sangat buruk, di mana mereka terjebak ke dalam sisi gelap seven deadly sins atau tujuh dosa mematikan.

Seven deadly sins terdiri atas pride (kesombongan), greed (ketamakan), envy (iri hati), wrath (kemarahan), lust (hawa nafsu), gluttony (kerakusan), dan sloth (kemalasan). Lalu apa hubungannya era digital dengan tujuh dosa mematikan ini? Berikut beberapa contoh kasus yang sedang terjadi di tengah kehidupan generasi muda.

Pertama, media sosial rasanya sudah menjadi kebutuhan dasar manusia untuk tetap terhubung satu sama lain, contohnya Instagram. Yang cukup memprihatinkan adalah aplikasi yang seharusnya bisa digunakan sebagai platform untuk berbagi foto dan cerita (story) untuk hal yang bermanfaat, malah saya temui sering digunakan sebagai ajang pamer kehidupan dari para penggunanya. Fenomena yang saya klasifikasikan dalam pride (kesombongan) ini juga berdampak kepada pengguna lainnya yang memunculkan sifat envy (iri hati).

Kemudian, contoh media sosial lainnya adalah Facebook. Sifat tidak bertanggung pengguna Facebook menyebabkan dengan mudahnya informasi tersebar tanpa filter yang jelas apakah informasi itu benar atau salah. Mulai dari bahasan topik politik yang selalu panas, kampanye hitam dan adu domba yang disebarkan berpotensi konflik. Konflik yang terus berkepanjangan ini termasuk kedalam wrath (kemarahan).

Selain itu, dosa besar lainnya juga datang dari Youtube. Sebagian besar pembuat konten (Youtuber) di Indonesia saat ini sudah mulai menggeser norma-norma yang ada. Konten yang mereka buat cenderung tidak berbobot seperti prank dan konten berbau pornografi. Sikap Youtuber yang menghalalkan segala cara demi meningkatkan pendapatan AdSense mereka ini termasuk kedalam greed (tamak).

Dan yang tidak kalah memprihatinkannya juga datang dari aplikasi transportasi online. Semakin populernya fitur jasa antar makanan di tengah generasi muda Indonesia karena banyaknya promo serta diskon yang ditawarkan, membuat banyak generasi muda Indonesia yang terjebak perilaku konsumtif. Sehingga dua sifat mematikan yaitu sloth (kemalasan) dan gluttony (kerakusan) timbul dari hal ini.

Sifat lainnya yang mengancam adalah lust (hawa nafsu) yang menghantui generasi muda saat ini. Maraknya akses website pornografi di internet juga menjadi ancaman serius yang harus disadari sendiri oleh pribadi masing-masing. Rendahnya edukasi seks juga memperparah maraknya konten pornografi yang berpotensi mendorong perilaku seks bebas dan ancaman penyakit kelamin.

Istilah tujuh dosa mematikan ini saya rasa tidak berlebihan mengingat generasi kita seperti sudah terjebak di era digital. Ada kalanya kita melakukan deactivated Instagram untuk semetara waktu atau mengganti tontonan kita di Youtube dari konten prank dengan konten yang menambah wawasan seperti TedTalks dan Vice.

Begitu banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari generasi muda kita sudah lepas kontrol dan terjebak oleh sisi buruk era digital, seharusnya membuat kita semakin sadar bahwa sudah saatnya generasi muda kita melepas jeratan dari sisi gelap ini. Oleh karena itu, mari kita sama-sama berbenah diri untuk mengontrol era digital ini secara mandiri mulai dari diri sendiri.

 

Ditulis oleh:

Favian Adith Budiarto

Mahasiswa S-1 Departemen Teknik Geomatika

Angkatan 2019

Berita Terkait