ITS News

Kamis, 03 Oktober 2024
12 April 2020, 14:04

Menjadi Smart People di Era Smartphone

Oleh : itsqin | | Source : ITS Online

Ilustrasi penggunaan smartphone (Sumber gambar: fordham.edu)

Kampus ITS, Opini – “Apakah dengan munculnya smartphone maka pemiliknya juga menjadi smart?” Mungkin saja jawabannya tidak. Tidak dapat dipungkiri, abad ke-21 ini teknologi berkembang sangat pesat. Sejak kemunculan ponsel pertama di tahun 1983, ponsel banyak mengalami perkembangan teknologi yang cepat. Kini ponsel berganti menjadi smartphone. Lambat laun smartphone mulai dipasarkan di negara bagian timur. Tentu saja Indonesia pun terkena dampak pemasarannya dan mulai mengkonsumsi kecanggihan digital dari benda ini. 

Namun banyak hal yang terjadi pada era smartphone ini. Salah satu nya maraknya hoax. Kita dapat melihat bahwa hoax sangat cepat tersebar. Penyebarannya pun secara berantai dan terus menerus. Contohnya saja melalui aplikasi Whatsapp. Pesan diteruskan dari satu kontak ke kontak lain dan dari grup satu ke grup lain. Hal inilah yang menjadikan hoax itu viral dan banyak masyarakat yang tahu. Seharusnya, dengan dibekali smartphone, kita bisa mencari informasi yang lebih valid dan tidak termakan atau malah ikut membumbui hoax tersebut. 

Biasanya, kebanyakan penyebaran hoax muncul di grup Whatsapp orang tua. Penyebabnya adalah orang tua terlambat menggunakan internet dan media sosial dibandingkan generasi muda. Selain itu, literasi digital mereka rendah dan pengaruh faktor biologis. Kemampuan kognitif di umur mereka juga sudah mulai menurun, sehingga para orang tua mudah tertipu dengan hoax.

Untuk hoax sendiri, kita sebagai masyarakat intelektual patut curiga dengan berita yang nyaring nan provokatif. Kebanyakan hoax menggunakan cara ini untuk mengikat psikologis pembaca, korban, dan pelaku. Pembuat berita hoax akan menggambarkan bahwa pelaku seolah-olah korban disiksa dengan sadis dan tidak masuk akal. Hal ini membuat warganet yang termakan hoax akan menghakimi pelaku. Mereka biasanya akan menyerang akun media sosial pelaku dan menuliskan komentar tajam di kolom komentar nya. 

Lantas jika kita hanya termakan berita hoax dan ternyata semuanya tidak benar, apakah kita bisa memperbaiki kondisi psikologis sang pelaku?

Selain masalah hoax, masalah lain adalah bijak dalam menggunakan sosial media. Kita harus awas nan bertanggung jawab tentang sesuatu yang kita tulis maupun sebar luaskan. Apabila terdapat sebuah trend, kita harus melihat baik buruknya terlebih dahulu bukan langsung mengikutinya. Salah satunya adalah penggunaan istilah open minded untuk menggiring opini masyarakat. 

Open minded sendiri berarti kita tau bahwa kita bisa benar maupun salah dan mau mendengarkan dari sisi yang lain. Jika suatu hal jelas salah, kita tidak bisa membenarkan hal tersebut dengan dalih open minded. Inilah pentingnya untuk kita menyaring segala sesuatu yang ada. Lagipula, untuk terlihat maju dan keren, kita nggak perlu sok dengan kalimat open minded kok. 

Ilustrasi penyebaran hoax dapat terjadi sangat cepat melalui smartphone (Sumber gambar: smartcitiesworld.net)

Dari sini kita tahu bahwa tantangan terbesar bagi Indonesia adalah bagaimana penggunaan smartphone yang bijak dan pemberantasan hoax. Jalan yang tepat untuk dilakukan adalah dengan melek literasi digital. Pemerintah tak akan bisa menangani masalah ini jika masyarakat sendiri kurang literasi digital. Untuk meningkatkan literasi digital kita bisa mulai dengan menguasai keterampilan membaca, menulis, dan menyimak berita maupun tulisan di media sosial. 

Harapannya, kita dapat menggunakan internet secara bertanggung jawab. Untuk pemberdayaan masyarakat, gerakan literasi digital dapat dilakukan melalui program kerja Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan sebagainya. Acara yang diadakan dapat berupa sosialisasi tentang kedigitalan terutama kepada orang tua, sehingga penyebaran hoax dapat di minimalisir.

Ditulis oleh:

Ramadhan Candra Kirana Aditya Putri

Mahasiswa S-1 Departemen Sains Aktuaria

Angkatan 2019

Berita Terkait