Kampus ITS, Opini – Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari cara berpikir masyarakat di dalamnya. Kemampuan warga negara dalam menyelesaikan masalah dapat menentukan ke arah mana negara bergerak. Di Indonesia sendiri, terdapat sejumlah persoalan yang menjadikan bangsa Indonesia sulit untuk maju dan masih berkutat pada masalah yang sama, salah satunya karena masyarakatnya masih mengandalkan logika mistika dalam menyelesaikan masalah.
Logika mistika sendiri, disebut oleh Tan Malaka dalam bukunya berjudul “Madilog” sebagai cara berpikir yang menganggap bahwa segala sesuatu disebabkan oleh pengaruh roh atau hal-hal gaib. Tan menyebutkan bahwa hal itulah yang menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia untuk maju. Dalam berpikir, masyarakat Indonesia masih dipengaruhi hal-hal serba tidak masuk akal seperti mengultuskan takhayul, mantra, roh, ramalan, dan sebagainya.
Asal dari logika mistika masyarakat Indonesia bisa jadi disebabkan oleh dua hal, yang pertama adalah berkembangnya animisme dan dinamisme sebagai kepercayaan awal yang masuk ke Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa penghambaan kepada roh dan memberikan sesajen dengan harapan masalah dapat selesai, masih ada hingga saat ini. Bahkan hal tersebut masih lestari di pedesaan.
Yang kedua adalah akibat dari lamanya bangsa Indonesia berada dalam masa penjajahan kolonial. Para penjajah dahulu menyadari bahwa kemerdekaan dalam berpikir dapat mengantarkan bangsa Indonesia dengan mudah meraih kemerdekaan. Maka dari itu, mereka membiarkan masyarakat Indonesia terbiasa untuk berpikir pasif dengan penghambaan kepada roh nenek moyang, daripada berpikir berdasarkan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah.
Logika mistika sendiri masih berkembang pesat di Indonesia. Ketika dunia mulai menemukan cara melakukan rekayasa cuaca, Indonesia masih mengandalkan dukun atau pawang hujan. Ketika dunia menyusun banyak strategi untuk menyelesaikan masalah sehari-hari, Indonesia masih terpengaruh ramalan bintang. Bahkan ketika masyarakat dunia belajar dari banyak teori dan meningkatkan kompetensi diri untuk mencapai posisi tertinggi, Indonesia masih mengandalkan jimat agar dimudahkan menggapai suatu jabatan.
Sering terdengar di berita nasional bahwa terdapat peserta Tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kedapatan membawa jimat ke dalam ruangan tes. Sering terdengar juga bahwa setiap akan melaksanakan acara besar harus memanfaatkan jasa pawang hujan. Kuburan nenek moyang akan selalu ramai setiap tahunnya menjelang pelaksanaan Ujian Nasional. Bahkan praktik perdukunan masih laris manis di Indonesia.
Logika mistika yang ada dapat menjadi cermin sikap suatu banga yang mudah pasrah dan menyerah pada nasib dengan mengultuskan dan menuhankan hal-hal mistik. Manusia yang cenderung berlogika mistik tidak ada bedanya dengan manusia yang dibunuh pikirannya oleh penjajah. Mereka lebih suka menyelesaikan masalah secara instan dengan bantuan hal-hal mistik daripada mengkaji secara empiris.
Tan sendiri menyebutkan bahwa cara masyarakat Indonesia agar berpikiran maju adalah dengan melalui tiga proses. Logika mistika, lewat filsafat, dan menuju ke ilmu pengetahuan. Filsafat dapat membentuk cara berpikir masyarakat mengenai asal dan akibat suatu kondisi. Ilmu pengetahuan dapat dilakukan sebagai langkah akhir untuk menyelesaikan masalah melalui berbagai percobaan empiris yang dilakukan. Tidak dipungkiri, Indonesia masih berada di titik terendah di mana logika mistika masih menjadi dewa.
Pemikiran ini tentunya bukan bermaksud mengesampingkan ilmu agama. Dalam Islam juga dijelaskan bahwa perlu adanya ikhtiar sebelum bertawakkal. Namun masyarakat Indonesia masih lebih sering menggantungkan nasib pada doa-doa yang dipanjatkan tanpa berusaha maksimal setelahnya. Sikap selalu jadi peminta tanpa berusaha juga tidak baik bagi setiap manusia.
Maka benar bahwa kemerdekaan berpikir harus mulai digalakkan di Indonesia dari lini paling atas hingga paling bawah. Ketika masyarakat masih suka mendengarkan berita-berita heboh terkait kesaktian seseorang, mempercayai mitos-mitos dalam menyelesaikan masalah, dan menganggap terlalu berat dan susah untuk berdiskusi berlandaskan ilmu pengetahuan, maka kemajuan seperti apa yang diharapkan bangsa Indonesia ke depannya?
Ditulis oleh:
Septian Chandra Susanto
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2018
Reporter ITS Online
Surabaya, ITS News – Kenyamanan dan fungsionalitas menjadi aspek utama dalam desain bangunan yang ramah lingkungan, tak terkecuali bagi
Kampus ITS, Opini — Kontribusi ibu di dalam tumbuh kembang anak merupakan aspek yang krusial, terutama bagi mahasiswa baru
Kampus ITS, ITS News — Menyokong antisipasi terjadinya bencana serta terus berupaya mengedukasi masyarakat, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui
Kampus ITS, ITS News — Transisi menuju energi terbarukan menjadi fokus utama demi lingkungan yang berkelanjutan. Mendukung hal tersebut,