Kampus ITS, Opini – Hai, apa kabar? Bagaimana keadaanmu hari ini? Rasanya, sudah hampir satu bulan kita tidak saling bertegur sapa. Tidak saling bersua untuk mendiskusikan tugas, atau sekedar melontarkan guyonan tanpa makna. Seharusnya minggu-minggu ini kita masih bisa bersenda gurau di kantin jurusan, atau berdiskusi hangat dengan dosen di ruangan. Tapi apa daya, seluruh dunia tengah berduka karena serangan virus yang tak kunjung mereda.
Nampaknya, pemberitaan semakin suram dengan kehadiran coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang menyebar di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Setiap hari muncul pertanyaan baru, kekhawatiran baru, dan ketakutan baru tentang pandemi ini. Menghadirkan sebuah ketidakpastian akibat informasi yang saling bertentangan. Jika hal ini membuatmu merasa tegang, sulit berkonsentrasi, atau bahkan merasa sesak nafas tanpa alasan yang jelas saat melihat berita, kamu tidak sendiri.
Ketakutan Ancam Kesehatan Mental
Dilansir dari laman kompas.com, survei yang dilakukan Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) terhadap lebih dari 1000 orang dewasa Amerika Serikat, menunjukkan bahwa 48 persen responden merasa cemas akan tertular COVID-19. Sekitar 40 persen mengkhawatirkan mereka akan sakit berat atau meninggal akibat COVID-19, dan 62 persen mencemaskan keluarga atau orang tercintanya tertular. Lebih dari sepertiga responden mengatakan pandemi ini berdampak serius pada kesehatan mental mereka, dan 59 persen menjawab efeknya cukup berat pada kehidupan sehari-hari.
Ini semua hal yang normal. Ini adalah reaksi alamiah manusia ketika berhadapan dengan kondisi yang jauh dari kata normal seperti saat pandemi ini. Namun terkadang, rasa cemas dan ketakutan yang berlebihan bisa mengganggu aktivitas keseharian. Dalam tingkat yang lebih parah, hal ini dapat berdampak pada penurunan kesehatan.
Baruch Fischhoff, profesor dari Carnegie Mellon University dan ahli persepsi masyarakat mengenai risiko menjelaskan, hal ini terjadi karena kasus positif dan angka kematian yang diakibatkan COVID-19, terus meningkat setiap hari. Jadi, wajar saja bila kita merasa cemas saat melihat Achmad Yurianto. Si juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 yang memberikan keterangan pers tiap sore.
Menurut Paul Slovic, peneliti dalam bidang risiko dan pengambilan keputusan di University of Oregon, kemungkinan penyebab rasa cemas terhadap COVID-19 meningkat karena manusia adalah makhluk dengan emosi dan perasaan. Manusia seringkali melibatkan perasaan daripada analisis logis, untuk mengevaluasi sebuah risiko. Alih-alih melihat data, manusia membuat asumsi berdasarkan skenario terburuk yang dapat terjadi, membuat pemikiran irasional dan menjadikan sesuatu jauh lebih buruk dari kenyataan.
Batasi Konsumsi Berita
Baru-baru ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempublikasikan informasi mengenai bagaimana cara menjaga kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19. Salah satunya adalah dengan membatasi diri dari pemberitaan mengenai COVID-19. Dengan kata lain, batasi kegiatan mencari informasi mengenai pandemi.
Sungguh, tidak perlu melihat perkembangan kasus positif, tingkat kematian, sekalipun angka kesembuhan setiap jam. Cukup lakukan satu kali sehari, dengan memilih sumber informasi yang terpercaya. Saring informasi yang kita terima, kumpulkan informasi yang diperlukan untuk tindakan pencegahan dan perlindungan diri.
Jaga Komunikasi
Berhari-hari melakukan aktivitas di rumah tanpa bertemu rekan kuliah dapat memicu kejenuhan dan kebosanan. Dalam artikel yang dimuat kompas.id pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Lahargo Kembaren menjelaskan, mengomunikasikan apa yang kita rasakan merupakan bentuk ventilasi psikologi.
Lebih-lebih, pembatasan kegiatan sosial bukan berarti melakukan isolasi diri secara sosial. Ada banyak cara aman untuk tetap terhubung dengan orang lain tanpa tatap muka dan mengurangi risiko terpapar COVID-19. Jangan menunggu orang lain untuk menghubungi kita, mulailah menghubungi mereka telebih dahulu. Ini adalah waktu yang tepat untuk memulai komunikasi yang berkualitas dengan keluarga, teman, dan sanak saudara.
Syukuri yang Dimiliki
Daripada fokus dengan segala keterbatasan saat ini, mari mensyukuri hal kecil yang kita miliki. Bersyukurlah karena masih memiliki keluarga di sisi kita, masih dalam keadaan sehat, memiliki persediaan makanan yang cukup, dan mempunyai tempat berlindung di rumah.
Tarik napas, dan coba lihatlah senja yang indah di ufuk barat. Warnanya begitu jelas tanpa terhalang oleh awan dan pekatnya polusi. Coba dengarkan kicauan burung yang memecah keheningan di pagi hari, dan suara binatang malam yang menemani kesunyian. Nikmati semua yang pernah kita lewatkan saat tugas kuliah memaksa kita tenggelam dalam kesibukan.
Semua ini memang berat, namun kita tidak sendiri. Berdiam di rumah merupakan cara terbaik untuk menghentikan penyebaran penyakit, namun kesehatan mental kita juga perlu dirawat. Jangan sampai rasa cemas yang berlebihan menghambat kegiatan produktif sehingga kita melewatkan waktu luang yang ada.
Meskipun segalanya tidak terlihat baik saat ini, teruslah berharap agar kita bisa keluar dengan bebas suatu saat nanti. Kita akan dapat bertemu dengan teman-teman tanpa takut akan ancaman kesehatan. Kita bisa bebas berpergian ke tempat yang kita rindukan. Kita bisa kembali ke kehidupan normal, dan menghargai setiap hal dan momen kecil yang kita rindukan di masa sulit ini.
Ditulis oleh:
RAj. Mutia Arih Maharani Ridwan
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2017
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2024, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bersama Pengurus Wilayah
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kompleksitas pasar kerja nasional, Institut Teknologi Sepuluh
Kampus ITS, ITS News — Tim Sapuangin dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali mengenalkan mobil urban edisi terbarunya
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali dipercaya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu