Kampus ITS, Opini — “Tuntutan” bagi perempuan untuk bisa melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci dan memasak masih sering kita jumpai di Indonesia. Tak hanya itu, ketika ada di antara mereka yang tidak memiliki kemampuan tersebut, sudah pasti cibiran menjadi suatu hal yang tak terhindarkan. Lantas, apakah hal tersebut merupakan suatu hal yang benar? Jika tidak, mengapa hal tersebut masih kental tertanam di dalam masyarakat, khususnya Indonesia?
Menilik Perjuangan Feminisme Kartini
Menilik sejarah, Indonesia pernah memiliki pejuang emansipasi wanita yang bahkan keteladanannya dalam memperjuangkan kesamaan kedudukan antara perempuan dengan laki-laki menempatkan tanggal lahirnya sebagai salah satu hari besar nasional. Tokoh tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah RA Kartini. Sosok yang sudah sangat akrab di telinga kita tersebut bahkan juga diabadikan dalam sebuah lagu berjudul “Ibu Kita Kartini”.
Dilatarbelakangi oleh pembatasan perempuan untuk memperoleh pendidikan formal di masa lalu, Kartini mulai melakukan perjuangannya mengkampanyekan kesetaraan gender melalui tulisan-tulisannya. Beberapa kali hasil tulisannya pun dimuat dalam sebuah majalah Belanda De Hollandsche Lelie. Sejak saat itu, sebuah gagasan baru mengenai persamaan hak bagi wanita pribumi mampu mengubah pandangan masyarakat luas. Alhasil hingga kini gerakan persamaan kedudukan ini terus digalakkan.
Meskipun telah digaungkan oleh Kartini dan diikuti gerakan-gerakan wanita modern, nyatanya hingga detik ini praktik budaya patriarki masih ada dan berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Hal tersebut tampak dari hubungan laki-laki dan perempuan yang masih terlihat timpang, dimana kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, dimarginalkan, hingga didiskriminasi. Hal ini menyebabkan terbelenggunya kebebasan perempuan dan mengganggu hak-hak perempuan.
Ilustrasi patriarki yang membelenggu perempuan. (sumber conatusnews.com)
Langgengnya Patriarki dan Stigma Perempuan dengan Pekerjaan Domestik
Pekerjaan yang ada dalam rumah tangga sangatlah beragam mulai mengatur keuangan memasak, kepiawaian belanja dengan menyesuaikan selera masing-masing anggota keluarga, menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan rumah, mendidik anak, serta keperluan lain. Semua hal itu menjadi sebuah hal yang mutlak dikuasai oleh perempuan. Sedangkan untuk laki-laki, mereka hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang mana pemimpin keluarga merasa bukanlah kewajibannya melakukan pekerjaan rumah.
Jika melihat sejarahnya memang peran perempuan sejak dahulu lebih dominan pada pekerjaan domestik sedangkan laki-laki lah yang keluar rumah mencari pundi-pundi uang. Hal ini merupakan hal yang wajar jika memang ada pembagian tugas yang disepakati. Namun dalam prakteknya banyak perempuan yang dituntut bekerja untuk menambah penghasilan suami sembari menanggung beban pekerjaan rumah. Namun bagaimanapun juga, hal ini tidak berarti laki-laki tidak perlu memiliki kemampuan dalam melakukan pekerjaan domestik.
Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an dan Hukum
Banyak yang berkata bahwa agama menjadi salah satu faktor budaya patriarki ini kental tertanam pada kehidupan manusia. Namun, apakah patriarki merupakan hal yang benar menurut agama?
Sebagaimana tertuang dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 30 yang menyebutkan “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Khalifah pada surat tersebut bermakna menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya. Al-Zamakhsyarî menafsirkan makna khalifah pada surah ini tidak hanya berarti Adam (mewakili laki-laki).
Senada dengan argumen tersebut, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menyebutkan bahwa yang dimaksud makhluk yang diberi tugas adalah Adam dan anak cucunya. Al-Quran sendiri pun tidak memberi petunjuk bahwa khalifah hanya ditujukan kepada kaum laki-laki. Dalam ajaran Islam, terdapat empat sifat yang harus dimiliki seseorang dalam melaksanakan kepemimpinan, yakni berkata dan berbuat yang benar, dapat dipercaya, cerdas, dan tidak menyembunyikan sesuatu.
Selain itu, seorang pemimpin juga harus penuh rasa sabar dan tabah, membawa masyarakatnya kepada tujuan yang sesuai dengan petunjuk Allah, membudayakan kebaikan, taat beribadah, optimis, dan kuat serta terpercaya. Dari beberapa kriteria tersebut, maka konsep kepemimpinan dalam Islam dapat dilakukan oleh siapapun baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas.
Banyak ulama yang menjadikan firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 34 yang mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Ayat ini diartikan perempuan berada dalam posisi yang dipimpin dan penafsiran klasik ini sering dijadikan argumen penguatan supremasi laki-laki atas perempuan. Laki-laki memiliki kekuasaan lebih besar dan status lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga pola kekuasaan dan status ini berpengaruh secara universal dalam menentukan kebijakan dan aturan yang berlaku di tengah kehidupan bermasyarakat.
Mawlana Utsmani menanggapi penafsiran ini berpendapat bahwa seandainya Allah bermaksud menegaskan superioritas laki-laki atas perempuan, Allah akan menggunakan ungkapan yang lebih jelas seperti “karena Dia (Allah) telah melebihkan laki-laki atas mereka perempuan”. Sehingga Surah An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan landasan superioritas laki-laki. Dalam Al-Quran juga dicontohkan bagaimana perempuan memimpin sebuah negara.
Dalam Al-Quran Surah An-Naml ayat 23, Allah berfirman “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgahsana yang besar.” Perempuan yang dimaksud tak lain adalah ratu yang memerintah kaum Saba yang dikenal dalam sejarah dengan nama Balqis. Dalam kepemimpinannya, Balqis sanggup membawa rakyatnya kepada kemakmuran dan ketentraman. Ayat ini mempertegas pula posisi wanita mampu menjadi pemimpin ketika memang memiliki kapasitas dan kapabilitas.
Selain dalam A-Quran, isu kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan juga telah diformalkan di Indonesia salah satunya pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Pasal 15, yang berbunyi “Setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Akhirnya, selain dari sisi hukum, praktek mengenai cara membangun tradisi kehidupan yang tidak bias gender perlu digalakkan.
Sebagai negara republik, perlu ditumbuhkan budaya demokratis dalam segala aspek akan menjamin keharmonisan diantara sesama. Dengan begitu pikiran dan perbuatan yang patriarkis dapat perlahan dihilangkan.
Ditulis oleh:
Gita Rama Mahardhika
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2018
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Tak hanya berkomitmen untuk senantiasa menghadirkan inovasi mutakhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) juga
Kampus ITS, ITS News — Tim Pengabdian Masyarakat (Abmas) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengembangkan aplikasi Kinderfin, untuk meningkatkan
Kampus ITS, ITS News — Sebagai bentuk dukungan atas inovasi anak bangsa, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berkolaborasi dengan Universitas
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memperkuat nilai-nilai toleransi dan harmoni di tengah keberagaman