ITS News

Jumat, 27 September 2024
30 Januari 2008, 18:01

LPPM Berbagi Pengalaman Paten Penelitian

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Lokakarya tersebut dihadiri oleh 93 peneliti. 60 diantaranya adalah peneliti-peneliti yang ditugaskan untuk mewakili perguruan tinggi masing-masing. Dan 33 lainnya adalah pendaftar umum. Hadir dalam lokakarya Prof Dr Ir Suprapto DEA, ketua Tim Pakar Pengembangan HKI Perguruan Tinggi Ditjen Dikti, dan peneliti ITS Dr Ir Imam Robandi MT dan Prof Dr Ir Sarwoko Mangkoedihardjo MSc Es.

Prof Dr Ir Suprapto DEA mengatakan peningkatan kemampuan bangsa perlu mengembangkan keunggulan teknologi yang kompetitif dan mengembangkan kreatifitas diantaranya berbasis pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dengan berkembangnya sistem HKI serta penerapannya diharapkan berkembang pula SDM terutama terciptanya budaya inovatif dan inventif melalui penelitian-penelitian.

”Dan perguruan tinggi memiliki potensi untuk menghasilkan penelitian yang inovatif dan inventif,” ujar Suprapto. Dia menambahkan bahwa hasil penelitian tidak hanya berwujud laporan yang nantinya akan menambah angka kredit dan kenaikan jabatan. ”Itu paradigma lama, hasil penelitian jangan berhenti di laporan tapi usahakan menghasilkan paten yang mempunyai derajat paling tinggi,” cetus dosen Teknik Kimia ini.

Seorang peneliti yang menghasilkan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan adalah mendaftarkan paten pada sentra HKI di perguruan tingginya atau jika tidak ada dapat mendaftarkan ke sentra HKI perguruan tinggi lain terdekat

Kenyataannya, saat ini Indonesia per tahun hanya memiliki 75 paten yang dihasilkan oleh peneliti Indonesia sedangkan 2.307 paten dihasilkan peneliti luar Indonesia yang mematenkan di negara kita. Ini sangat jauh bila dibandingkan dengan paten yang dihasilkan Jepang. Setahun Jepang menghasilkan 320.175 paten. ”Tak jarang, Indonesia disebut sebagai peniru teknologi oleh luar negeri,” kata Suprapto.

Sedikitnya paten di Indonesia disebabkan kelemahan personal dan institusional, rencana penelitian yang berorientasi paten sangat sedikit dan hasil penelitian yang patentable masih bersifat ”kebetulan”. Menurut Suprapto, perlindungan HKI di PT belum membudaya dan penelitian-penelitian di Indonesia belum berorientasi HKI.

Padahal Dikti memberi kemudahan-kemudahan dalam mendapatkan paten. Sejak tahun 1998, Dikti telah mengadakan berbagai sosialisasi dan workshop mengenai perolehan paten. Dikti juga memberikan insentif usulan berpotensi Rp 7,5 juta bagi penelitian yang selesai dan siap diajukan patennya. Serta Rp 20 juta untuk penelitian yang pendanaannya selesai tapi masih memerlukan penyempurnaan dapat diajukan paten.

Puluhan dosen dari Regional VII Jawa Timur, sangat antusias mengikuti acara ini. Salah satunya Dewanto, dosen dari Universitas Negeri Surabaya, yang menceritakan kebingungannya dalam sesi tanya jawab. “Bagaiman kita mengetahui penelitian yang kita teliti itu layak untuk dipatenkan?” tanyanya lugas.

Mendengar hal itu pun, dosen Jurusan Teknik Kimia ini pun menjelaskannya dengan antusiasme pula. “Tidak perlu khawatir tentang layak atau tidak suatu penelitian untuk dipatenkan karena itu sudah ada yang mengurusnya” jawabnya tegas. (Humas/st/rif)

Berita Terkait