ITS News

Minggu, 24 November 2024
05 Oktober 2021, 10:10

Perempuan dan Wabah Pernikahan Dini

Oleh : itschi | | Source : ITS Online

Ilustrasi pernikahan dini (sumber: radarlampung.co.id)

Kampus ITS, OpiniKasus pernikahan dini yang terus melonjak di tengah pandemi tak ayal membuat banyak orang tergelitik. Meskipun pemerintah sudah merevisi batas usia minimal perkawinan, namun nyatanya regulasi ini belum sepenuhnya menekan praktik pernikahan dini di Indonesia. Fenomena ini jika dilanggengkan akan berdampak buruk, terutama bagi perempuan. Bagaimana kondisi pernikahan dini di Indonesia dan implikasinya pada kehidupan anak perempuan?

Melindungi anak perempuan agar tidak terjerat praktik pernikahan dini bukanlah hal yang mudah. Bagaimana tidak, sepanjang Januari hingga Juni 2020, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah mencatat 34 ribu permohonan dispensasi pernikahan dini. Dari jumlah tersebut, 97 persen permintaan dikabulkan dengan 60 persennya adalah pernikahan anak perempuan di bawah 18 tahun. Hal tersebut membuktikan bahwa pernikahan dini masih menjadi permasalahan sosial yang pelik, kompleks, serta multi dimensi.

Ada beberapa alasan mengapa perempuan lebih dirugikan dalam kasus ini. Pertama, perempuan yang menikah dini berkorelasi dengan angka kehamilan di bawah umur. Hal tersebut meningkatkan risiko penyakit, seperti kanker serviks, eklampsia, puerperal endometritis, dan systemic infections. Lebih lanjut, perempuan yang melahirkan sebelum usia 15 tahun berisiko meninggal lima kali lebih besar dibandingkan usia 20 tahun ke atas. Tak berhenti sampai situ, bayi yang dilahirkannya memiliki risiko mengalami mortalitas dan morbiditas 50 persen lebih tinggi serta cenderung prematur dengan berat badan lahir yang rendah.

Selain itu, perempuan yang menikah dini juga berpeluang lebih tinggi mengalami putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan melanggengkan jerat kemiskinan. Hal ini akan berdampak secara psikologis yang bisa menimbulkan kecemasan, stress, dan depresi. Hal tersebut diakibatkan kematangan psikologis yang belum maksimal dan stabil. Fenomena ini juga berpotensi merenggut hak anak atau yang kerap disebut the best interest of the child. Atau dengan kata lain, para korban dipaksa menjadi dewasa dan cenderung kehilangan jati dirinya.

Banyak variabel yang ditengarai menjadi dasar pernikahan dini, salah satunya adalah faktor ekonomi. Karena merasa tak mampu membiayai hidup anak gadisnya, sebagian orang tua memilih jalan menikahkan putrinya sedini mungkin. Di sisi lain, perempuan yang menikah dini juga tak lepas dari faktor agama dan budaya. Dari segi budaya Jawa, ada pandangan yang menempatkan perempuan hanya sebagai konco wingking (perempuan harus selalu di belakang suaminya). Sedangkan dari sisi agama, pernikahan dini anak perempuan sering kali dikait-kaitkan dan dipandang sebagai kodrat dan bentuk keihsanan.

Ilustrasi pernikahan dini (sumber: riaurealita.com)

Banyaknya rintangan yang dihadapi dalam menghapus praktik pernikahan dini menunjukkan bahwa perlu adanya langkah preventif yang ditempuh sejak dini. Langkah preventif ini harus terintegrasi dan dilakukan secara kolaborasi oleh guru selaku pendidik, orang tua, maupun pemerintah. Guru diharapkan memberikan edukasi dan pengarahan lebih lanjut kepada siswanya mengenai dampak pernikahan dini. Terlebih, di masa pandemi saat ini, guru seharusnya lebih aktif memantau aktivitas siswanya, baik lewat media sosial ataupun kegiatan sharing.

Orang tua juga dapat berperan dalam memberikan edukasi dan pemahaman ekstra mengenai dampak pernikahan dini. Tak boleh dilupakan, orang tua seharusnya dapat menciptakan lingkungan yang suportif dan menjauhkan stigma bahwa anak gadis yang tak segera menikah akan menjadi “perawan tua” dalam lingkungan keluarga. Sedangkan pemerintah harus terus berupaya memberikan pencerahan kepada masyarakat dan lebih memperketat izin dispensasi kawin.

Perlu diingat, perempuan bukanlah ‘objek’ dan ‘wahana’ yang bisa dikendalikan. Perempuan berhak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki melalui nilai dan norma dalam menentukan usia pernikahan. Sebab pernikahan bukanlah hal yang indah saja, namun dalam menjalani ikrar tersebut diperlukan kesiapan dari segi fisik, mental, maupun finansial. Dan pada akhirnya, permasalahan ini haruslah diselesaikan secara bersama. Mari ubah sudut pandang kita, it’s time to break the silence on child marriage!

Ditulis oleh:

Erchi Ad’ha Loyensya

Mahasiswa S-1 Departemen Teknik Mesin

Angkatan 2019

Reporter ITS Online

Berita Terkait