ITS News

Senin, 30 September 2024
07 November 2008, 09:11

Rahardi Ramelan, Coba Membudayakan Teknologi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Arus globalisasi menjadi sorotan utama dalam buku ini. Ia mencoba menyodorkan pertanyaan-pertanyaan besar. “Apakah kita mempunyai budaya bersaing di era globalisasi? Apa kita juga masih memegang budaya ikut-ikutan tren?,” tanyanya kepada para hadirin.

Ia mengakui bahwa Indonesia belum bisa melindungi diri dari dampak negatif globalisasi. Karena semakin bebasnya negara ini dimasuki oleh asing. “Bahkan melamin dalam produk makanan China bisa bebas masuk,” tutur Guru Besar Teknik Mesin ITS ini.

Menurutnya, industrialisasi secara tidak langsung menyebabkan perubahan arus budaya. ia menambahkan bahwa IPTEK juga termasuk bagian dari budaya. Sehingga IPTEK harus sejalan dengan Industrialisasi. ”Hal itu semua bergantung pada kreatifitas dan kemandirian,” tegasnya.

Ia memaparkan bahwa Indonesia harus memiliki orang-orang yang punya techno-ideology. Bagaimana cara mereka membangun teknologi dan industri dengan ideologi nasionalisme. ”Kemajuan industri bagi kita adalah ketika kita sudah mencintai produk Indonesia sendiri,” pungkasnya.

Kapok Bekerja Sama dengan WTO
Ia menyadari bahwa globalisasi tidak hanya merasuki bidang ekonomi saja. Tapi menurutnya, semua bidang sudah dikendalikan secara global. Ia pun menyesalkan campur tangan asing atau negara-negara maju yang mengendalikan World Trade Organisation (WTO).

Ia menilai bahwa industri di Indonesia yang sudah dibangun sejak lama, hancur lebur dikala masa-masa krisis moneter 1998. Ia mengambil contoh IPTN, industri penerbangan kebanggaan Indonesia ini jatuh gara-gara campur tangan IMF dan WTO di Indonesia. ”Saya sudah kapok menghadapi WTO, mereka ini kejam sekali!” tegas Mantan Menperindag dan Menristek 1998-1999 ini.

Bahkan segala kebijakan yang ada didalamanya ditentukan oleh negara-negara maju dan untuk kepentingan mereka. Tak jarang terjadi kesepakatan, siapa yang berhak memimpin organisasi internasional ini. ”WTO sudah menjadi alat-alatnya negara maju,” ungkapnya.

Tanggapan dari dua sisi
Dalam acara ini juga hadir dua orang ahli dari dua sisi ilmu yang berbeda untuk menanggapi buku tersebut. Mereka adalah Prof Dr Ir Widi Agus Pratikto, MSc (Sekjen DKP) dan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA (Guru besar Unair).

Dalam ulasannya, Widi sepakat dengan kemandirian industri dan teknologi di negara ini. Sekaligus memperbaiki policy agar lebih tertata. Ia pun mendorong adanya kesatuan antara lembaga pendidikan tinggi dengan perkembangan teknologi. ”Seharusnya ITS mampu menjadi pioneer dalam menggali potensi sumber daya yang ada di Indonesia misalnya potensi kelautan,” tutur Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS ini.

Sementara, Soetandyo mengulas buku ini dari sisi sosiologi. Ia mengkritisi hubungan perubahan budaya dan teknologi. Menurutnya, teknologi pasti akan mempengaruhi budaya. Hal ini adalah sebuah pilihan. Namun seharusnya bukan semata-mata rational choice tetapi juga moral choice.

”Dahulu manusia itu sekalipun kurang menguasai teknologi namun masih mampu mengontrol moral anak-anaknya, sedangkan di abad modern, sekalipun manusia mampu menguasai teknologi namun tak lagi mampu mengontrol anak-anaknya,” pungkasnya.(bah/jie)

Berita Terkait