ITS News

Sabtu, 05 Oktober 2024
02 Maret 2009, 20:03

Mereka yang Hidup Dalam Genangan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Hujan menyertai kami dalam perjalanan menuju Bojonegoro. Delapan orang dalam dua mobil. Memang yang lebih banyak kami bawa adalah barang-barang bantuan yang akan diserahkan. Kardus-kardus mie instan, obat-obatan, dan makanan ringan seperti roti dan biskuit memenuhi bagian belakang kedua mobil. Barang-barang yang harus kami bawa sampai tujuan di tengah derasnya hujan dan gerimis yang sesekali menyelingi.

Baru sampai Babat, mata kami sudah disuguhi rumah-rumah di bantaran Bengawan Solo yang sudah tergenang. Semburan air masih masih terus keluar dari celah-celah tanggul yang dibuat warga. Tanpa tanggul itu, mungkin jalan akan lumpuh. Bergerak beberapa ratus meter lagi, genangan di sisi jalan sudah seperti danau. Menutupi sawah-sawah penduduk. Indah tapi memprihatinkan.

Selapas Zuhur dan makan siang kami siap menuju lokasi. Baru beberapa ratus meter dari jalan utama, genangan sudah di depan mata menutupi badan jalan.
”kalau diteruskan bisa sampai segini,” ucap penduduk setempat sambil menunjuk kepalanya mengukur. Ternyata tinggi air sudah mencapai kepala orang dewasa.
Kami pun berputar mencari jalan lain. Syukurnya, satu dari tiga jalan yang ada tidak tergenang. Setidaknya penduduk Kecamatan Kanor yang kami tuju masih memiliki akses.

”Kapten, kami sudah menuju lokasi,” ujar Endy, salah satu staf Pengmas BEM ITS menyebut panggilan seseorang. Namanya Bambang, pihak TNI yang membantu di Kecamatan kanor.
”Oke, langsung ke posko di kantor kecamatan aja,” terdengar jawaban dari handphone.

Gerimis masih menyertai saat kami memasuki Kecamata Kanor. Hal pertama yang kami dapati adalah berjejernya hewan ternak dipinggir-pinggir jalan. Dengan ditutupi terpal seadanya mereka lahap saja memakan rumput yang disediakan. Karena banjir, mereka pun harus meninggalkan nyamannya kandang.

Masih di pinggir jalan, padi-padi yang masih bisa dipanen tampak berjejalan dan belum lepas dari batangnya, basah terkena hujan. Mulai dari sinilah kami dapat melihat danau-danau luapan merendam sawah-sawah warga. Luas sekali. Di ujung sana tampak pula perbukitan kapur memanjang menjadi backround-nya. Sekali lagi, Indah. Tapi ada bencana di balik itu semua.

***
Tepat saat rombongan kami tiba di posko, hujan bertambah deras. Barang bawaan ditunda untuk diturunkan. Hanya melapor dan sedikit bertanya sana-sini yang kami lakukan. Ada banyak orang di posko saat itu. Katanya ada tanggul yang baru jebol, jadi banyak orang berdatangan ke Kanor. Raut wajah mereka tak ada yang lelah, takut, apalagi panik. Seolah semuanya sudah biasa terjadi.

”Kami hanya jenuh,” tutur Kholiq yang turut membantu di posko. ”Posko ini buka sejak 1 Februari, berarti sudah sebulan kami harus seperti ini,” kata Kholiq melanjutkan.

Dari data yang tercatat di posko. Daerah yang terendam di Kecamatan Kanor mencapai 17 desa dari 25 desa yang ada. Rumah yang tergenang mencapai 3264 rumah. Ini berarti terdapat jumlah Kepala Keluarga (KK) yang sama yang terendam luapan bengawan Solo. Jika dihitung dalam jiwa, terdapat 13.828 jiwa yang turut merasakan genangan di Kecamatan Kanor. Untungnya, beberapa padi sudah dipanen sebelum sungai meluap. Meski demikian kerugian tanaman yang belum sempat dipanen mencapai Rp 730 juta.

”Itu data 27 Februari mas, bisa bertambah kalo dihitung lagi. Apalagi tadi ada tanggul jebol lagi,” ungkap Kholiq menjelaskan.
”Trus kapan surutnya, kira-kira pak?” tanyaku sedikit basa-basi.
”Ya gak tau mas. Malah masih ada air kiriman dari hulu,” terang Kholiq sambil tersenyum. Masih saja ada senyuman di antara ancaman.

Sriwinarti selaku koordinator pengadaan dan pendistribusian bantuan yang dari tadi ikut berbincang pun mengatakan bahwa semua orang terus berusaha untuk membuat tanggul sederhana. Tidak hanya pria, para wanita pun bekerja dengan memasak di dapur umum. Setidaknya terdapat 5 dapur umum yang ada di Kanor. ”Ibu-ibu baru tidur jam 12 atau jam 1 malam itu sudah biasa,” ceritanya.

”Yang ada di posko ini siap-siap saja mengevakuasi warga jika ketinggian bertambah. Semua orang bekerja mas, yah untuk mereka sendiri juga,” ungkap Kholiq lagi.

Sriwinarti pun menipali, ”Dari camat sampai bupati gak ada yang diam. Pak camat hampir tiap hari mantau ke posko sekalian lihat tanggul, Pak Bupati juga sekali-kali nyambangi ke sini.”

Tidak banyak yang mereka harapkan. Mereka hanya ingin banjir segera berlalu dan pemerintah tetap rutin memberikan bahan pangan. Sejauh ini memang pemerintah yang memenuhi kebutuhan para korban banjir. ”Kami juga menunggu janji Pakde Karwo untuk membangun tanggul di Kanor,” ungkap Sriwinarti sembari mengingat kedatangan Gubernur Jawa Timur tersebut ke Bojonegoro beberapa waktu lalu.

***
Hujan mulai mereda meski gerimis masih terasa. Akhirnya bantuan kami berhasil diserahkan. Sebelum kembali pulang, Kapten Bambang pun mengajak kami untuk melihat kondisi tanggul yang jebol. Tak kami siakan kesempatan ini.

Sekitar 3 km jarak menuju tanggul yang jebol. Dalam 3 km itulah saya benar-benar melihat bagaimana kehidupan penduduk dalam sebuah genangan besar. Saya pikir kondisi di tempat lain pun tak akan jauh berbeda. Jalan yang dilalui memang tidak tergenang, tapi sisi kiri kami hanya tampak rumah-rumah yang telah terendam seperempatnya. Hanya tanggul sederhana dari karung pasir yang memisahkan kami. Tanggul jebol, kami pun hanyut.

Gerimis masih terus turun. Itupun tak menghalangi warga untuk terus meninggikan tanggul. Mereka terus berusaha menyelamatkan daerah lain agar tidak ikut tergenang. Biarlah air terus meninggi di daerah yang satu, asalkan daerah lain tidak ikut tergenang. Mungkin itu yang ada dalam benak mereka. Anak-anak, pria, wanita, semua bahu membahu membuat tanggul.

Sesekali truk pengangkut pasir lewat. Berhenti di beberapa titik untuk menurunkan pasir sekaligus karung kosong. Warga pun siap mengisi karung dan menyusunnya sebagai tanggul. Beberapa batang kayu pun ditancapkan sebagai pengaku. Tidak pasti sampai kapan mereka harus terus melakukannya.

***
Hari semakin gelap. Seharian kami memang tidak pernah melihat matahari. Ingin rasanya di lokasi lebih lama dan sedikit bercengkrama dengan korban atau sekedar melihat lebih jauh daerah genangan. Sayang hal itu tidak terlaksana karena kami harus pulang. Belum lagi kabar terakhir yang kami terima bahwa tanggul di Babat jebol. Dan benar saja, kami memang meraskan dampak luapan dengan berputar melalui jalan alternatif.

Sebelum keluar Kanor, Endy sempat mengabadikan beberapa gambar di pinggir jalan. Beberapa warga yang sedang mengurus ternaknya atau sekedar memilah padi dari batangnya, yang sempat diambil gambarnya meminta sedikit uang dari kami. Mungkin kami dikira pelancong.
”Mas, kasih uangnya sedikit, mas!” minta seorang ibu tampak memelas.

Endy pun hanya dapat berucap kalo bantuan sudah diberikan ke posko. Kami pun hanya berlalu dengan nelangsa.

Emal Zain MTB
ITS Online

Berita Terkait