Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus berkomitmen pada inovasi untuk keberlanjutan lingkungan, salah satunya melalui lokakarya pembuatan bata ramah lingkungan. Diselenggarakan oleh Departemen Arsitektur ITS, acara ini sekaligus menutup rangkaian peluncuran dan pameran buku NATABATA II yang telah berlangsung selama 14 hari sejak Minggu (12/10).
Dalam sambutannya, Direktur CV Andyrahman Architect Andy Rahman memaparkan, lokakarya ini merupakan kesempatan bagi mahasiswa hingga masyarakat umum untuk mendalami proses pembuatan bahan bangunan, khususnya batu bata. “Arsitek jarang bersinggungan dengan material bangunan, sehingga penting bagi mereka memahami bahan yang tepat untuk menciptakan desain berkarakteristik unik,” paparnya.
Pada rangkaian pelatihan ini, peserta dapat secara langsung mempraktikkan proses pembuatan batu bata. Bahan baku yang digunakan adalah campuran semen dengan material ramah lingkungan, yaitu serbuk kayu dan tanah. Inovasi ini mendukung implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-11 yang mendorong pembangunan infrastruktur berkelanjutan dan poin ke-12 terkait penggunaan material ramah lingkungan untuk mengurangi dampak lingkungan.
Lebih dalam, alumnus Departemen Arsitektur ITS ini menjelaskan bahwa untuk setiap pembuatan satu bata, perbandingan serbuk kayu dan tanah adalah tiga banding dua. Selain itu, bobot semen digunakan sekitar lima persen dari total campuran. “Campuran tersebut kemudian ditambahkan sedikit air dan diaduk hingga membentuk adonan yang merata,” jelas pria asal Surabaya ini.
Selanjutnya, adonan dimasukkan ke dalam cetakan dan dipukul ringan menggunakan palu karet. Metode ini menghilangkan udara terperangkap dan memastikan campuran menjadi padat dan merata. “Setelah berbentuk balok padat, adonan lalu dikeringkan di bawah sinar matahari selama sekitar 20 menit,” tutur Andy sambil memberi instruksi kepada peserta.
Andy menambahkan bahwa perbedaan utama antara batu bata konvensional dan batu bata ramah lingkungan terletak pada proses pemadatannya. Batu bata konvensional menggunakan teknik pembakaran, sementara batu bata ramah lingkungan hanya memanfaatkan paparan sinar matahari untuk pengeringan. “Meski begitu, daya tahan dan kekuatan batu bata ramah lingkungan tidak kalah dengan yang lainnya,” ungkap pria kelahiran 1980 ini.
Pada kesempatan yang sama, Andy turut memperkenalkan batu bata ramah lingkungan berbentuk L yang terbuat dari limbah serbuk terakota. Serbuk tersebut berasal dari sisa pembakaran tanah liat. “Inovasi ini secara tidak langsung membantu menjaga kebersihan lingkungan dan keberlanjutan bumi,” ucap Andy.
Terakhir, penulis buku NATABATA II ini membeberkan bahwa lokakarya ini merupakan tak luput dari hasil kolaborasinya dengan dosen Arsitektur ITS Prof Dr Ir V Totok Noerwasito MT. Melalui lokakarya ini, diharapkan para peserta dapat menerapkan ilmu yang diberikan. “Semoga batu bata ramah lingkungan dapat menjadi alternatif pengganti bahan bangunan konvensional, sehingga mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan,” harapnya. (*)
Reporter: Khaila Bening Amanda Putri
Redaktur: Frecia Elrivia Mardianto
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)