(oleh Dr. Ir. Amien Widodo, M.Si)
Selama puluhan tahun masyarakat dianggap obyek pembangunan sehingga masyarakat lokal hanya menjadi penonton pembangunan itu. Hampir tidak menikmati hasil sama sekali. Para pengusaha menganggap sudah ada izin presiden, izin gubernur, izin bupati, izin camat, izin kepala desa dan tokoh masyarakat, sudah dianggap syah. Kadang cara-cara lama dengan memobilisasi aparat ikut menekan rakyat agar mengikuti rencana tersebut.
Selama ini, saat pembangunan sampai beroperasinya pembangunan maayarakat lokal sebagian besar hanya sebagai penonton dan sebagian kecil sebagai tukang sapu, sekuriti dll. Sebagai contoh pembangunan INDUSTRI, pertambangan, infrastruktur dll., bisa terlihat langsung bahwa sebagian besar yang bekerja dari luar, masyarakat lokal sebagai pegawai rendahan. Hampir tidak ada yang di level pimpinan. Saat pihak industri ditanya KENAPA PEGAWAI banyak dari luar? Kata pihak industri “Kualitas pendidikan masyarakat lokal sangat rendah dan etos kerjanya mengkhawatirkan pabrik”.
Kecemburuan sosial muncul seiring dengan bertambahnya penduduk lokal yang hampir tidak punya kesempatan bekerja di tempat mereka lahir dan dibesarkan. Munculnya dampak dari aktivitas pembangunan seperti misalnya pabrik mengeluarkan limbah yang menimbulkan debu, bau memyengat dll. akan memicu ketidak senangan penduduk sekitar, apalagi saat pencemaran terjadi ada korban, ada kerusakan dan ada kerugian. Ini akan lebih memicu ketidaksukaan penduduk lokal pada industri tersebut.
Paradigma menganggap rakyat jadi obyek harus diubah, rakyat harus dijadikan subyek. Ini sesuai nawa cita pertama yaitu menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Waktunya memberlakukan rakyat sebagai subyek pembangunan ikut menentukkan kebijakan yang akan dilakukan, termasuk penyiapan sumber daya masyarakat lokal. Harapannya begitu pembangunan tata ruang selesai, masyarakat siap berpartisipasi. Istilahnya TUMBU OLEH TUTUP.
Sebagai contoh pemerintah berencana melakukan penambangan Emas di suatu kawasan dan biasanya butuh waktu tahunan untuk proses eksplorasi sampai produksi. Ini kesempatan Pemerintah daerah bekerjasama dengan investor penambang emas, yaitu dengan membuat kursus pelatihan atau pengembangan SMK khusus untuk mengisi kebutuhan industri ekstraktif emas tersebut. Pemerintah juga bisa menyekolahkan pemuda ke sekolah industri pertambangan dan pengolahan emas. Kepala daerah yang didukung DPRD menyiapkan anggaran menyekolahkan masyarakatnya dan MOU dengan perguruan tinggi seperti ITS, UNHAS, ITB dsb.
Harapannya begitu penambangan emas terbangun, SDM lokal siap mengisi SDM yang dibutuhkan industru tersebut. Apa yang dilakuka kepala daerah dan DPR kepada rakyatnya bisa menjadi investasi dan bermanfaat bagi daerah itu sendiri. Dan semua orang senang selamanya.