Sebagai sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi, Departemen Teknik Transportasi Laut mengemban tugas untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terdiri atas:
Berikut merupakan capaian Departemen Teknik Transportasi Laut dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat dan Kerjasama Industri:
Berikut merupakan contoh kolaborasi Departemen Teknik Transportasi Laut, baik dengan Perusahaan maupun Instansi dari dalam dan luar negeri untuk menyelesaikan permasalahan dibidang Transportasi Laut, meliputi bidang Pelayaran, Pelabuhan dan Logistik Maritim:
Tahun: 2016 Bidang: Pelayaran
PT. PLN (Persero) sebagai badan usaha milik negara yang bertanggung jawab dalam penyediaan tenaga listrik nasional dituntut untuk dapat menjaga terjaminnya ketersediaan pasokan listrik seiring dengan kebutuhan listrik nasional yang semakin meningkat. Persoalan utama dalam upaya untuk menjaga ketersediaan pasokan listrik nasional adalah menjaga kelangsungan penyediaan energi primernya. Salah satu upayanya yaitu dengan memperbanyak pembangkit listrik dengan menggunakan energi primer yang masih cukup banyak cadangannya dan harga yang relatif murah yaitu batubara. Oleh karena kebutuhan batubara sebagai energi primer bagi PLTU adalah mutlak dan dibutuhkan jasa transportasi untuk mengangkut batubara dari lokasi tambang ke lokasi PLTU, maka komponen biaya transportasi (freight cost) batubara menjadi salah satu faktor yang harus menjadi pertimbangan bagi PT. PLN (Persero) dalam proses pengadaan batubara.
Tujuan pelaksanaan studi ini adalah untuk mendapatkan standarisasi (formulasi) cara perhitungan dan penetapan biaya-biaya dalam komponen ongkos angkut (freight) batubara secara akademik (berdasarkan teori yang berlaku) sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi transportasi batubara. Output dari studi ini mencakup penentuan besaran freight untuk angkutan batubara dengan menggunakan 3 (tiga) alternatif alat angkut yaitu Tongkang (Barge), Kapal (Vessel) dan SPB (Self-Propelled Barge).
Hasil dari perhitungan freight rate menunjukan bahwa semakin besar ukuran (kapasitas) alat angkut menghasilkan unit biaya yang rendah, namun belum tentu alat angkut tersebut adalah yang paling efisien digunakan, hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan antara lain: a) batasan kedalaman perairan pelabuhan, b) batasan kondisi gelombang dan c) batasan jumlah muatan yang akan diangkut.
Informasi selengkapnya dapat menghubungi kami di sini.
Tahun: 2014 Bidang: Pelabuhan
Adanya kerjasama PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit II Dumai dengan Partner dari Tiongkok yang bermaksud untuk mengaktifkan kembali pengolaan Calcined Petroleum Coke (CPC) melalui fasilitas Horizontal Rotary Kiln dengan kapasitas 300.000 ton yang telah berhenti beroperasi sejak tahun 1994 karena mengalami kerusakan. Untuk dapat memproduksi CPC tersebut diperlukan bahan baku GPC (High Sulphur Contents) yang harus didatangkan dari tempat lain (Import). Import GPC tersebut akan menggunakan Jetty No. 4 dari sebelumnya hanya untuk fasilitas loading produk yang akan diekspor, menjadi fasilitas loading produk untuk ekspor dan unloading produk import untuk bahan baku blending Coke. Oleh karena itu PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit II Dumai berkerjasama dengan ITS (Departemen Teknik Transportasi Laut untuk melakukan studi mengenai dampak perubahan operasional dermaga Jetty No. 4 baik dari aspek parasarana cargo handling-nya ataupun dari aspek Berth Occupancy Ratio (BOR) dermaganya dengan adanya perubahan peruntukan pada Jetty No. 4 tersebut.
Lingkup analisis studi yang dilakukan meliputi:
Hasil model simulasi menunjukan bahwa nilai BOR akibat perubahan pola operasional masih berada dibawah batas BOR maksimum (<80%) sehingga tidak diperlukan Penambahan Dermaga. Sedangkan analisis sensitivitas menunjukan Nilai BOR melebihi batas maksimum (>80%) ketika Produksi GPC-RU II sebesar 420,000 TPA, dan seluruh kapal yang datang 10,000 DWT disertai dengan penurunan kecepatan B/M sebesar -40%.
Tahun: 2016 Bidang: Logistik
Kementerian Perdagangan RI dengan dukungan World Bank berupaya merancang kebijakan baru untuk meningkatkan peran serta perusahaan nasional guna meningkatkan perekonomian Indonesia. Opsi kebijakan penggunaan CIF (Cost, Insurance and Freight) pada aktivitas ekspor dan FOB (Free on Board) pada aktivitas impor dipandang akan dapat mewujudkan harapan ini dengan hipotesis bahwa kebijakan tersebut dapat meningkatkan peranan perusahaan pelayaran, freight forwarder dan asuransi nasional. Untuk mengetahui peluang penerapan opsi kebijakan tersebut, World Bank telah menunjuk ITS (Jurusan Transportasi Laut) untuk melakukan studi evaluasi perubahan Term of Delivery (ToD) ekspor dari FOB ke CIF dengan studi kasus pada 4 (empat) komoditas ekspor yaitu kelapa sawit (CPO), batubara, karet dan udang. Alasan mengapa komoditas tersebut dipilih karena mewakili 66% dari total volume ekspor Indonesia di tahun 2015. Adapun permasalahan utama dalam studi ini yaitu:
Berdasarkan hasil analisis, dari ke-4 komoditas ekspor utama, CPO dan batubara memiliki peluang untuk dapat diangkut dengan kapal berbendera Indonesia, karena market share tinggi (high bargaining position untuk eksportir Indonesia). Jika hal ini diimplementasikan maka akan ada potensi pengurangan defisit pada jasa transportasi sebesar 37,15%. Perubahan term untuk komoditas ekspor dari FOB ke CIF bukan berarti harus menggunakan kapal berbendera Indonesia. Eksportir tetap dapat menggunakan kapal asing, namun hal tersebut tidak dapat mengurangi defisit atas jasa transportasi barang ekspor di Indonesia.
Dapat hubungi kami