TIMESINDONESIA, SURABAYA – Gunung Kelud merupakan salah satu gunung berapi aktif di Jawa Timur. Tepat 13 Februari 2014 atau tujuh tahun silam gunung ini meletus maha dahsyat. Namun 870 ribu jiwa berhasil selamat dari ancaman erupsi.
Pakar Bumi dan Kebencanaan ITS Dr Ir Amien Widowo dalam seminar online Masyarakat Tangguh Indonesia mengungkapkan perjalanan letusan Gunung Kelud.
“Kalau kita lihat perjalanan Gunung Kelud sangat panjang. Yang bisa terekam dengan baik sebelum 2007 dari awalnya sebuah danau yang bagus menjadi anak Gunung Kelud pada November 2007,” terangnya, Minggu (21/2/2021).
Sejarah panjang letusan Gunung Kelud tersebut bahkan pernah menguburkan peradaban di sekitarnya. Termasuk kala peradaban Majapahit. Di mana sebagian terkubur sekitar 2 meter atau lebih. Sisa peradaban itu bisa ditemukan melalui penggalian maupun penemuan tak terduga.
Pada 1901 sebaran letusan Gunung Kelud pernah mencapai radius terjauh. Sebelum tahun 1920, Kelud kembali meletus namun letusan berupa banjir bandang lahar.
“Pada waktu itu karena ada danau kawah yang sangat dalam, letusannya berupa letusan lumpur banjir bandang sebelum 1920,” jelas Amien.
Tinggi letusan Gunung Kelud bahkan bisa mencapai 23 kilometer sehingga jangkauan letusan bisa sangat jauh. Batu sekitar ukuran 6,4 cm bisa tersebar sampai 10 kilometer apabila letusan terjadi secara vertikal.
Lantas, bagaimana masyarakat sekitar lereng Kelud beradaptasi dengan ancaman bencana permanen tersebut?
Sekjen Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Jatim sekaligus Ketua Komunitas Jangkar Kelud Catur Sudharmanto mengungkapkan, ketangguhan masyarakat lereng Kelud bukanlah kondisi kebetulan. Akan tetapi telah melewati proses sangat panjang dengan bekal mitigasi dan kesiapsiagaan. Campur tangan proses latihan dan modal sosial dalam membangun kesiapsiagaan sejatinya berlangsung cukup lama.
“Artinya mitigasi dan kesiapsiagaan telah menjadi bagian masyarakat lereng Kelud,” ujar Catur.
Kegiatan kesiapsiagaan menghadapi erupsi juga melibatkan pengalaman masyarakat dari masa lalu dan peran-peran sekelompok orang, organisasi ataupun lembaga pemerintah yang peduli terhadap ketangguhan masyarakat.
Kehadiran Komunitas Jangkar Kelud sejak tahun 2008 sendiri, jelas Catur, bertujuan sebagai pengurangan risiko bencana. Jangkar Kelud memiliki makna Jangkane Kawula Redi Kelud. Jangkane bermakna harapan. Kawula memiliki arti masyarakat dan Redi Kelud adalah gunung api Kelud.
Perkumpulan Komunitas Jangkar Kelud sebagai organisasi nirlaba memiliki misi membangun komunitas yang tangguh dalam menghadapi bencana gunung api Kelud melalui penguatan kapasitas.
Dalam praktiknya, Jangkar Kelud memberikan mitigasi berkelanjutan kepada warga. Demikian pula saat terjadi erupsi, komunitas juga langsung menyebarkan informasi terkini kepada masyarakat. “Kami mendapat informasi yang sama persis dari Pos Pantau Gunung Api (PGA),” imbuhnya.
Catur menambahkan, artinya informasi yang mereka terima A1. Selanjutnya disebar kepada anggota komunitas pemegang handy talky (HT) dan diteruskan menuju tokoh masyarakat serta tim siaga desa. Jangkar Kelud memiliki 9 radio komunitas yang tersebar di tiga kabupaten. Yakni Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang sebagai wilayah administratif Gunung Kelud. Sehingga masyarakat mendapat informasi lebih cepat dengan hasil lebih efektif.
“Informasi perkembangan Kelud terkini kita sampaikan ke masyarakat. Kuncinya ada di sini,” jelasnya.
Masyarakat hanya diberi waktu tidak sampai setengah bulan saat harus mempersiapkan segala sesuatu agar terhindar dari ancaman letusan Kelud saat gunung itu mulai menunjukkan aktivitas vulkanik.
Dari berbagai upaya tersebut, maka tak heran apabila letusan dahsyat Gunung Kelud pada 2017 tidak memakan korban jiwa kala erupsi. Padahal, hanya dalam waktu satu jam masyarakat harus menyelamatkan diri.
Perubahan status Gunung Kelud terjadi sangat cepat, tidak seperti erupsi-erupsi sebelumnya. Letusan ini membuat heboh banyak pihak. Pada Minggu (2/2/2014) status berubah menjadi Waspada. Senin (10/2/2014) status kembali naik dari Waspada menjadi Siaga hingga akhirnya terjadi erupsi pada Kamis (13/2/2014) malam. Gunung Kelud berubah status menjadi Awas yang berarti puluhan ribu orang harus mengungsi dengan sedikit waktu persiapan.
Padahal tahun 2014 adalah letusan Gunung Kelud terparah. Erupsi Gunung Kelud kala itu memuntahkan 150 juta meter kubik material. Dalam sejarah erupsi Gunung Kelud sepanjang 100 tahun terakhir, letusan ini merupakan erupsi terbesar. Namun tidak terdapat satu korban jiwa pun di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Kediri, Blitar dan Malang. Jumlah pengungsi mencapai 57.438 jiwa tersebar di 96 titik daerah terdampak.
Padahal transisi singkat dalam setengah bulan terbilang waktu cepat. Erupsi Gunung Kelud 2014 benar-benar sangat dahsyat.
Meskipun waktu pendek, namun kenyataan di lapangan masyarakat bisa melakukan evakuasi secara mandiri. Sebelum erupsi, Jangkar Kelud telah melakukan loka latih di 36 desa.
“Mungkin ini gambaran yang selama ini tidak pernah terekspos oleh media,” ujar Catur yang selama ini tinggal di sebuah Desa yang berjarak 8-9 kilometer dari puncak Gunung Kelud tersebut.
Gunung Kelud dengan ketinggian 1.731 mdpl mengalami erupsi pada Kamis (13/2/2014) malam telah memuntahkan isi waduknya berupa pasir, debu serta batu ukuran bongkah. Total 87.000 orang berhasil diselamatkan dari erupsi mahadahsyat.
Hal ini, jelasnya, menunjukkan secara gamblang adanya peran sentral masyarakat dalam penanggulangan bencana. Masyarakat termasuk unsur pemerintah lokal dan lainnya, telah berinisiatif melakukan penanggulangan bencana, mulai dari mengedukasi.
Sementara itu, masyarakat Kelud kemungkinan bukan menganggap letusan sebagai ancaman. Namun menyadari hidup bersahabat dengan bencana. Pasca letusan, masyarakat kembali dari pengungsian menuju kampung masing-masing.
Pada saat ini, pemulihan pasca erupsi berfokus pada pembangunan infrastruktur dan lahan pertanian terutama tanaman cabai. Namun dalam jangka waktu satu bulan tanaman cabai sudah mulai tunas kembali.
“Saat masyarakat fokus pada infrastruktur ternyata khusus tanaman cabai sudah mulai tunas kembali,” imbuh Catur.
Ada adaptasi baru terhadap kondisi lingkungan. Terutama yang tinggal di bantaran Sungai Kali Kunto. Sementara waktu, lahan pertanian tidak bisa difungsikan. Warga akhirnya melakukan penambangan di bantaran sungai terlepas penambangan tersebut dari liar maupun berizin.
“Ternyata pemulihan di Gunung Kelud banyak dibantu oleh kondisi alam itu sendiri,” ucapnya.(*)
Penurunan tanah merupakan suatu proses menurunnya tanah pada suatu kawasan yang cukup luas yang bisa terjadi secara alami karena
Awalnya gunung berbatu batu Panas hujan melapukkan batu Batu batuan berubah jadi tanah Pohon ikut mempertebal tanah Pohon pohon
Teknik Geofisika ITS bekerjasama dengan BMKG Juanda Dan MGMP Geografi Jatim mengadakan Webinar : ANTISIPASI ANGIN PUTING BELIUNG bersama