Kampus ITS, ITS News – Tahun 2017 lalu, nilai belanja market industri halal dunia mencapai angka 1.37 trilliun USD. Bahkan di daratan eropa dimana muslim sebagai minoritas, pertumbuhan nilai belanja tersebut berkisar 10 hingga 20 persen tiap tahunnya. Data dari The Global Islamic Finance Report (GIFR) yang cukup mencengangkan ini disampaikan oleh Dr Sitta Izza Rosdaniah dalam gelaran kuliah tamu LSCM 4.0 di Auditorium Sinarmas Departemen Teknik Industri ITS, Jumat (4/5). Angka tersebut tidak lain karena halal bukan lagi menjadi ikon rasis penduduk muslim. Istilah halal tidak hanya menyoal unit produk saja melainkan juga lokasi gudang, distribusi, hingga penyajian. Hal ini menjadikan Laboratorium Supply Chain Management Departemen Teknik Industri ITS berkeinginan mengangkat isu industri halal kepada mahasiswa. “Halal telah menjadi istilah seksi dalam penyajian berbagai produk. Kini halal dikenal sebagai standar universal soal sehat, higienis, dan aman,” ungkap Direktur Keuangan dan Administrasi PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung ini. Senada dengan Sitta, Ketua Pusat Kajian Halal LPPM ITS Dr rer nat Fredy Kurniawan MSi juga menegaskan potensi Indonesia sebagai Halal Hub. Halal Hub merupakan transit area untuk produk-produk dari negara-negara non-muslim dengan tujuan ke negara-negara mayoritas muslim seperti Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya memiliki peringkat Halal Hub yang baik. Sayangnya dari delapan sektor yang ada, hanya dua dari Indonesia yang masuk dalam peringkat sepuluh besar. Pertama adalah sektor keuangan berbasis syariah (Islamic finance) di posisi sembilan, serta sektor obat-obatan & kosmetik halal (Halal pharmaceuticals and cosmetics) di posisi delapan. Peringkat tersebut berada jauh di bawah Halal Hub dunia seperti Rotterdam, Santos, Marseille, serta Johor. Salah satu kendalanya, lanjut Fredy adalah kurangnya regulasi dari pemerintah. “Sejauh ini yang ada hanya sebatas undang-undang mengenai Jaminan Produk Halal saja,” keluhnya. Ia menambahkan, regulasi tersebut bahkan belum didukung dengan peraturan pemerintah yang dapat dijadikan landasan dari manajemen logistik dan rantai pasok produk-produk halal. Meskipun demikian, kini telah disepakati adanya sertifikasi halal yang dikeluarkan langsung oleh pemerintah, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. Lain dengan dulu yang hanya dapat dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia. “Kini Indonesia mulai melek dengan legal halal framework, dimana segala hal harus sah oleh pemerintah agar leluasa diterima oleh lembaga internasional,” tuturnya. Ke depannya, Fredy berharap potensi industri halal di Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini dapat dioptimalkan melalui integrasi yang kuat. (saa/qi) (sumber : https://www.its.ac.id/news/2018/05/07/teknik-industri-kenalkan-potensi-logistik-halal-di-indonesia/)