Leonika Sari Njoto Boedioetomo menuangkan kepedulian sosialnya lewat kemampuan teknologi. Dia membuat aplikasi yang mempermudah proses donor darah. Kiprahnya membuat dia masuk daftar bergengsi Forbes 30 Under 30 Asia.
TIDAK banyak orang yang tahu prosedur mendonorkan darah. Padahal, kegiatan itu memiliki banyak manfaat. Selain mampu menolong nyawa orang lain, mendonorkan darah berguna untuk kesehatan diri sendiri. Leo melihat hal itu sebagai masalah dan berinovasi untuk memecahkannya.
Alumnus Jurusan Sistem Informasi Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya tersebut adalah orang di balik Reblood, sebuah aplikasi yang berisi segala hal tentang donor darah. Perempuan kelahiran 18 Agustus 1993 itu juga memberikan poin plus bagi pengguna aplikasinya.
Dia pun mengonsepkan dengan sistem penambahan poin layaknya game bagi donor yang sudah menyumbangkan darahnya. Jumlah poin nanti bisa ditukarkan dengan hadiah atau reward yang sudah ditentukan. ”Jadi, unsur sosialnya ada, fun-nya juga ada,” jelas Leo saat ditemui di Forward Factory Surabaya.
Sebelum merilis Reblood tahun lalu, Leo dan beberapa temannya memiliki ide membuat aplikasi donor darah. Namun, saat itu belum berkembang dengan baik. Leo sendiri sudah mendalami entrepreneurship dengan mengikuti online course oleh edX, sebuah kursus bisnis online yang diadakan Harvard dan Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Setelah mendapatkan beasiswa, Leo mengikuti Global Entrepreneurship Bootcamp di MIT pada Agustus 2014. Selama seminggu, Leo kembali belajar untuk memantapkan ide bisnis dan aplikasi donor darahnya. ”Saya jadi tahu bahwa ide aplikasi blood bank information system yang saya buat masih harus disempurnakan lagi,” ujarnya.
Pulang dari bootcamp, anak tunggal itu melakukan riset ke PMI dan Kementerian Kesehatan Indonesia. Dari situ, Leo tahu bahwa Indonesia sering kekurangan stok kantong darah dalam jumlah jutaan. ”Bahkan, dari Kemenkes, saya mendapat data bahwa pada 2013 Indonesia sampai kekurangan 2,4 juta kantong darah per tahun,” ujar Leo.
Permasalahan itu dibawanya ke Start-Up Surabaya, sebuah program untuk pebisnis muda yang mau memulai karir entrepreneur-nya. Di situ, Leo diajari tentang mencari penyebabnya. ”Saya diajak berpikir, kenapa dari 250 jutaan penduduk Indonesia, ada kekurangan stok darah sebanyak itu,” jelas Leo yang mengikuti Start-Up Surabaya pada Agustus 2015.
Sekali lagi, riset dan survei dilakukan Leo dan rekan. Hasilnya diketahui bahwa minimnya informasi tentang proses dan kegiatan donor darah menjadi penyebab kurangnya stok darah di PMI. ”Dari situ, kami konsep ulang aplikasi. Kami tambahkan berbagai informasi tentang manfaat, kepentingan, hingga pengumuman mengenai event pendonoran darah beserta tempat dan waktunya,” jelas Leo.
Dengan aplikasi itu, calon donor yang sudah memiliki akun pun mendapat reminder. ’’Tujuannya, mereka nggak lupa dan bisa mempersiapkan diri. Misalnya, istirahat cukup dan sarapan. Jadi, saat menjalani tes kesehatan sebelum mendonorkan darah, mereka bisa lolos dan menyumbangkan darahnya,” ujar Leo. Selain itu, donor mendapat pemahaman yang lengkap dan detail. ”Misalnya, penjelasan tentang kaitan donor darah dan kesehatan, lalu tip menjaga kondisi menjelang mendonorkan darah, hingga fakta penting lain,” tambah Leo.
Reblood juga sering menggelar sesi donor darah. Kantong darah yang terkumpul diserahkan ke PMI. Dengan Reblood, Leo merasa berhasil melakukan dua hal sekaligus. ”Saya bisa campaign tentang donor darah sekaligus menumbuhkan kepedulian sosial masyarakat,” ujarnya.
Tercapai sudah keinginannya untuk menggunakan teknologi sebagai hal yang memudahkan layanan kesehatan dan bahkan menyelamatkan nyawa orang. ”Saya tidak harus jadi dokter. Dengan berbekal ilmu dan latar belakang TI (teknologi informasi) pun, saya bisa melayani kebutuhan kesehatan,” tambahnya. (ayi)
Sumber : Jawa Pos
Post Views: 1,393
Post Views: 2,576
The Vocational Faculty consists of six Departments, one of which is the Department of Civil Infrastructure Engineering (DTIS) Post