Virus Profesionalisasi Oleh Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D
Suatu ketika di sebuah kampus ternama di Thailand, Bennedict Anderson bertanya pada audiens yang mendengarkan kuliah tamunya. Sebagian besar audiens itu adalah para guru besar dan mahasiswa pasca sarjana. Ben menyebut nama seorang tokoh sutradara asal Thailand yang telah memperoleh banyak penghargaan internasional dan menayakan apakah audiens mengenal tokoh ini. Ternyata semua guru besar yang hadir di kuliah itu tidak tahu. Seorang mahasiswa berdiri dan menjawab tepat pertanyaan Ben.
Tokoh film Thailand ini telah banyak memproduksi film yang mengisahkan kehidupan masyarakat Thailand selama dua dekade terakhir dengan semua persoalan yang dihadapi mereka. Karena kepiawaiannya mengangkat kehidupan masyarakat Thailand sehari-hari, berbagai penghargaan diberikan karena berhasil menginspirasi khalayak luas, kecuali para guru besar kampus ternama itu.
Lalu Ben menyebut gejala guru besar kuper terpapar virus profesionalisasi yang banyak melanda kampus-kampus ternama di Asia. Dia menengarai profesionalisasi itu sebagai kematian intelektual publik : para guru besar semakin menekuni bidang yang makin sempit dan berbicara dengan istilah-istilah yang hanya dipahami oleh kalangan mereka sendiri, sulit dipahami oleh orang lain di luar bidang keahlian para guru besar tersebut, apalagi oleh awam. Kematian intelektualitas publik ini sekaligus menandai kematian demokrasi di banyak negeri saat parlemen dikuasai oligarki partai politik yang gagal melakukan checks and balances.
Intelektual publik adalah seorang ahli dibidang tertentu, tapi menyediakan diri untuk mempelajari bidang-bidang lain di luar keahliannya, lalu mengemukakan pendapatnya secara luas melalui berbagai media untuk memberi perspektif baru bagi masyarakat umum. Intelektual publik ini mencerdaskan masyarakatnya dengan membuat awam lebih kritis menanggapi berbagai persoalan publik yang secara formal menjadi tanggungjawab para profesional. Para profesional inilah yang dianggap oleh Pemerintah yang paling kompeten menyelesaikan masalah.
Lalu berkembang luas anggapan bahwa adalah dokter yang paling kompeten membicarakan kesehatan. Adalah guru yang paling kompeten membicarakan pendidikan. Adalah insinyur yang paling kompeten membicarakan keteknikan. Adalah politikus anggota parlemen sebagai wakil rakyat yang paling kompeten bicara soal kebajikan publik. Adalah sarjana bersertifikat yang paling kompeten membicarakan bidang keahliannya. Orang lain tidak kompeten sehingga tidak boleh membicarakannya.
Seperti virus, begitulah formalisme pendidikan telah mengkotak-kotaki keahlian menjadi berbagai sertifikat keahlian atau profesi. Padahal kehidupan bermasyarakat tidak terkotak-kotak seperti itu. Seperti gula hanya menyehatkan tubuh hingga dosis tertentu, maka profesionalisasi ini telah merusak keakraban hidup bermasyarakat. Pantaslah jika kita makin sulit menemukan kesehatan pada saat jumlah rumah sakit dan dokter makin banyak. Makin sedikit pendidikan di tengah jumlah sekolah dan guru yang makin banyak. Makin sedikit keadilan sementara jumlah gedung pengadilan dan hakim makin banyak. Lalu makin sedikit kebajikan publik di tengah hiruk pikuk partai politik dan politikus yang makin banyak. We find less polity in so many politicians and political parties.
KA Turangga Surabaya-Bandung 18/2/2020
Raden Ajeng KARTINI (21 April 1879-21 April 2024) Keteladanan akan Kesalehan dan kepedulian Sosial dalam Pengurangan Risiko Bencana Oleh
Puasa Satu Teknologi Pertahanan Oleh Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D Latar Belakang Shaum yang sering diterjemahkan sebagai puasa adalah
Maritiming Indonesia Oleh Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D @Rosyid College of Arts Dalam artikel opininya di Harian Kompas