News

PRB Berbasis Komunitas Melalui Gaya Hidup

Kam, 05 Jan 2023
9:45 AM
Opini
Share :
Oleh : Admin-Teknik Kelautan   |

PRB Berbasis Komunitas Melalui Gaya Hidup

Oleh Ir. Wahyudi Cirosiswoyo, M.Sc., Ph.D.

 

Pengalaman luar biasa pernah saya alami saat musim panas tahun 1992 di Okinawa Jepang -daerah prone ancaman bencana- oleh taifu (sebutan badai tropis dalam Bahasa Jepang), gempa, dan tsunami. Ketika itu saya sekeluarga mendekam beberapa hari dalam apartemen karena taifu melintas dalam jarak dekat. Seluruh aktivitas kehidupan di luar rumah, termasuk tempat pendidikan, pertokoan, perkantoran, semua moda transportasi, dan lain-lain dihentikan. Agar masyarakat tetap waspada, posisi taifu secara terus-menerus ditampilkan pada layar TV. Luar biasa! Saat itu tidak ada korban.

Ada pengalaman lain, walau tidak luar biasa, tetapi terasa aneh bagi saya yang baru beberapa minggu hidup di negeri matahari. Saat pagi yang cerah, banyak orang Jepang membawa payung di jalan, di dalam subway, dan di mana saja. Baru paham beberapa jam kemudian ketika cuaca mendadak berubah dan turun hujan. Cerita yang sama saat pertama melihat banyak orang memakai masker. Ketika saya tanyakan, “kaze desi”. Masuk angin, jawabnya. Orang Jepang menyebut secara singkat kaze atau angin untuk masuk angin. Mereka terbiasa memakai masker untuk menjaga penularan saat terjangki influenza.

Pengalaman lain, tentang keharusan memisahkan dan menempatkan sampah sesuai ketentuan, jenis, dan harinya. Tak kalah menarik, sehari setelah Gempa Kobe 1995, beberapa laboratorium di ‘Teknik Sipil Hokkaido University menjadi sepi karena penghuninya melakukan observasi ke daerah bencana. Semua pengalaman itu saya peroleh lebih dari 25 tahun lalu. Pembelajaran sangat berharga dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB).

 

PRB Berbasis Komunitas di Jepang

Kejadian tersebut merupakan aktivitas biasa bagi orang Jepang Kebiasaan harian, tetapi mengandung banyak hal tentang bagaimana menjalankan PRB. Pemanfaatan informasi cuaca untuk “sedia payung sebelum hujan” merupakan kelaziman. Menaati peraturan, tersedianya informasi posisi lintasan taifu merupakan bentuk kolaborasi masyarakat, swasta, dan pemerintah. Memakai masker saat terjangkit influenza adalah tindakan tak ingin orang lain tertular dan pencegahan supaya tidak terjadi wabah. Mengelola sampah adalah wujud partisipasi “dan tanggung jawab setiap individu dalam menjaga lingkungan. Observasi dan asesmen bencana merupakan tanggung jawab professional peneliti akademisi. Sungguh suatu pemahaman, sikap, perilaku, dan tindakan yang sangat dibutuhkan dalam PRB.

Sebagai negara yang seluruh wilayahnya tak ada yang luput dari berbagai ancaman bencana, Jepang telah berhasil membangun kapasitas bangsanya dalam memahami ancaman, bersikap, berperilaku, dan bertindak untuk PRB dalam kehidupan sehari hari, Bahkan sudah menjadi gaya hidup.

Sikap, perilaku, dan partisipasi komunitas dalam PRB ditunjukkan masyarakat Jepang ketika terjadi Gempa Kobe 27 tahun lalu. Sebagian besar korban—lebih dari 8096 penduduk—terselamatkan oleh teman, keluarga, dan tetangga. Gempa Kobe juga telah menjadi tonggak PRB melalui berbagai hal, terutama peran serta komunitas.

 

Menjadikan PRB Bagian dari Gaya Hidup

Dalam dua dekade terakhir, PRB berbasis komunitas telah menjadi perhatian utama organisasi dan pemerintahan internasional. Pengalaman praktis membuktikan, melibatkan komunitas dalam penentuan kebijakan dan perencanaan sangat bermanfaat. Aksi penyelamatan korban oleh komunitas lokal dan relawan tidak hanya dilakukan di Kobe, tetapi juga terjadi di Turki, India, dan Indonesia. Keterlibatan komunitas diformalkan dalam kesepakatan negara-negara di dunia dalam bentuk Kerangka Kerja Hyogo Untuk Aksi 2005-2015, diikuti Kerangka Kerja Sendai Untuk PRB 2015-2030. Kedua kerangka kerja tersebut mendorong pemerintah untuk bekerja bersama komunitas dalam menyusun kebijakan baru dalam penanggulangan bencana melalui peningkatan kepedulian dan pengembangan kapasitas, serta aksi PRB. Kepala negara dan setiap kepala daerah harus memahami semua ancaman yang berpotensi menjadi bencana di wilayahnya, bertanggung jawab membangun resiliensi rakyatnya, serta memasukkan rencana strategis PRB dalam program kerjanya.

Mengadopsi kebiasaan sehari-hari Bangsa Jepang dalam menghadapi ancaman akan sangat membantu keberlanjutan keberhasilan PRB. Tantangan berat melibatkan komunitas dalam PRB -apalagi menjadikannya gaya hidup- adalah tingkat pemahaman masyarakat terhadap risiko bencana masih kurang. Kelemahan lain, cara pandang pemerintah terhadap investasi human capital untuk PRB belum menjadi prioritas. Pengembangan kapasitas untuk PRB kurang berkelanjutan. Hampir selalu berhenti setelah “proyek” selesai.

Mengingat semakin meningkatnya risiko berbagai bencana, sebaiknya pemerintah semakin serius mengelola program PRB. Peningkatan sinergi Benen dalam perencataan dan ipiemenasi program PRB yang berkelanjutan sangat dibutuhkan. Salah satunya melalui sektor pendidikan. Memasukkan pengetahuan PRB ke dalam mata pelajaran yang sudah ada, ke dalam kegiatan ekstrakurikuler, serta edukasi melalui keluarga. Mendidik setiap kepala keluarga dan anggotanya ‘memahami dan menerapkan PRB di lingkungannya, Jangan berikan dalam materi spesial yang elusif dan membebani, tapi yang mudah dimengerti dan dipraktikkan, membumi, build in dalam aktivitas keseharian. Jadikan PRB bagian dari gaya hidup!

 

Ir. Wahyudi Cirosiswoyo, M.Sc., Ph.D.

Dosen Teknik Kelautan ITS dan Peneliti Pusat Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim-ITS

Dikutip dari Majalah Tangguh Edisi 7 Tahun 2022 halaman 13

 

 

Latest News

  • Raden Ajeng Kartini Keteladanan akan Kesalehan dan kepedulian Sosial dalam Pengurangan Risiko Bencana

    Raden Ajeng KARTINI (21 April 1879-21 April 2024) Keteladanan akan Kesalehan dan kepedulian Sosial dalam Pengurangan Risiko Bencana Oleh

    26 Apr 2024
  • Puasa Satu Teknologi Pertahanan

    Puasa Satu Teknologi Pertahanan Oleh Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D Latar Belakang Shaum yang sering diterjemahkan sebagai puasa adalah

    05 Apr 2023
  • Maritiming Indonesia

    Maritiming Indonesia Oleh Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D @Rosyid College of Arts Dalam artikel opininya di Harian Kompas

    12 Jan 2023