SURABAYA, SINAR POS – Negara kita adalah negara yang memiliki potensi biomassa yang sangat besar, hal ini ditunjukkan dengan sangat besarnya penggunaan lahan untuk perkebunan, pertanian, kehutanan di tanah air. Usaha yang menghasilkan produk-produk agrikultur ini , tentunya menghasilkan produk-produk samping dan limbah yang disebut sebagai biomassa . Bahan baku biomassa tersebut antara lain datang dari sawit, tebu, padi, jagung, singkong dan limbah kayu.
Chairman Asosiasi Spiritus & Ethanol Indonesia (ASENDO) , Dr Untung Murdyatmo menyatakan, Indonesia mempunyai potensi biomassa sebagai bahan baku ethanol luar biasa. “Kita harus akui punya kelemahan, yaitu belum mempunyai teknologi untuk mengolah dan mengubah bahan baku biomassa sebagai bahan bakar minyak (BBM). Teknologi sampai sampai ini belum kita miliki,” ujarnya di Biorefineries Conference & Ethanol Workshop di Hotel Santika Primier Gubeng Surabaya , Rabu (25/4).
Dikatakan Untung, sebenarnya banyak negara asing menawarkan teknologi dari luar negeri. Namun demikian, alangkah baiknya seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, sebagai lembaga ilmiah yang membuat inovasi teknologi sendiri, untuk mengolah bahan baku biomassa menjadi ethanol yang dihasilkan anak bangsa sendiri. Harus diakui, di Asia tenggara sendiri, Indonesia telah menjadi negara produsen bahan baku biomassa terbesar . Namun demikian, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal.katanya.
Bioethanol dari tetes tebu dari generasi satu. Untuk bio ethanol masa depan, Bio ethanol generasi dua dari sisa ampas tebu, sisa jerami padi, kelaras jagung, klaras tebu, janjang sawit kosong kelapa sawit.”Jikalau kita mampu mengolahnya dengan baik, kita bisa berkedaulatan energi dan tidak usah impor lagi. Teknologi untuk proses biomassa belum kita miliki. Namun, Amerika dan Perancis sudah punya teknologi itu. Kalau kita tergantung teknologi luar negeri, pasti dijual mahal pada kita dan akan tersandera,” ucap Untung.
Yang punya rencana itu untuk melakukan inovasi teknologi itu seharusnya pemerintah. “Kita mendorong Kementerian Perindustrian, namun masih belum terealisir. Ada rencana Direktorat Energri Baru dan Terbarukan pada Juni mendatang , Pertamina harus melakukan pencampuran bioethanol dan gasoline sebagai E-2. Komposisinya , 2 persen ethanol, 98 persen gasoline sebagai implementasi kebijakan 10 tahun yang tidak jalan itu, ” tambah Dr Untung.
Jika hal ini teralisasi, maka bisa jadi BBM yang dijual di pasaran akan berubah nama menjadi bio-pertamax , bio solar dan lainnya.
Dijelaskannya, ASENDO serius untuk mendorong pemerintah merealisasikan hal ini. Akan tetapi, kok nggak jadi-jadi. “Namun demikian, saya melihat sekarang ini serius. Apalagi Presiden Jokowi itu luar biasa (rencana itu insya Alloh akan direalisasikan),” ungkap Dr Untung.
Sebagaimana diketahui , kapasitas produksi bioethanol terpasang 350.000 Kilo Liter (KL) per tahun. Namun demikian, sekitar 50 persen pengembangan ethanol ditutup atau dihentikan,Padahal, permintaan bioethanol untuk campuran bahan bakar minyak (BBM) tahun 2020 sekitar 2 miliar liter . Ladang untuk pengembangan tetes gula yang tersedia mencapai 6 juta hektar. Kelemahan industri ethanol terletak pada mahalnya biaya produksi yang harus ditanggung produsen. Biaya produksi yang dikeluarkan pabrikan mencapai Rp 6.000 per liter. Itupun belum termasuk ongkos transportasi, tuturnya. (Nwi)
Merayakan Dies Natalis ke 62 Teknik Kimia ITS yang mengusung tema Teknik Kimia untuk Indonesia sukses dilaksanakan di Gedung
Sebagai salah satu rangkaian acara dari Reuni Akbar Teknik Kimia ITS, departemen Teknik Kimia ITS mengadakan Focus Group Discussion
Monitoring dan evaluasi kegiatan riset terkait pembuatan DEC dari CO2 dan Recovery H2 dengan membran diselenggarakan oleh Pertamina Research